Ratusan Warga Ampek Koto Dibawuh Kepung PT BRM: Tuntut Kembalikan 550 Hektare Lahan, Desak Aktivitas Dihentikan
TNI-Polri Berjaga-jaga Dilokasi PT BRM Antisipasi Kerusuhan Demo Warga di Dharmasraya
D'On, Dharmasraya – Suasana di simpang empat Durian Simpai, Kecamatan IX Koto, Dharmasraya, Jumat pagi itu berubah tegang. Ratusan warga Nagari Ampek Koto Dibawuh berkumpul, membawa spanduk, pengeras suara, dan semangat yang menyala—menuntut keadilan atas apa yang mereka sebut sebagai "pengingkaran janji" oleh pihak PT Bukit Raya Mudisa (PT BRM).
Massa yang terdiri dari tokoh adat, pemuda, dan kaum ibu dengan penuh amarah menuntut dikembalikannya lahan seluas 550 hektare yang menurut mereka telah dijanjikan kepada masyarakat, namun kini telah menjadi bagian dari perkebunan kayu akasia milik perusahaan.
Menunggu Tanpa Jawaban
Aksi dimulai sejak pagi di titik strategis simpang empat Durian Simpai. Warga berharap dapat bertemu langsung dengan perwakilan PT BRM untuk menyampaikan aspirasi mereka secara damai. Namun, dua jam berlalu tanpa satu pun utusan dari perusahaan yang datang menemui. Ketegangan mulai terasa.
Tak ingin aspirasi mereka diabaikan, massa kemudian berbondong-bondong bergerak menuju kantor PT BRM. Di pos penjagaan, situasi memanas. Sempat terjadi aksi saling dorong antara massa dengan petugas keamanan perusahaan. Meski tanpa bentrokan fisik yang parah, insiden ini menandakan ketegangan yang kian meruncing.
Polisi Fasilitasi Dialog, Namun Ditolak
Kapolres Dharmasraya, AKBP Purwanto Hari Subekti S.Sos, yang memimpin langsung pengamanan aksi dengan menerjunkan 115 personel, berupaya menengahi. Ia menginisiasi dialog antara massa dan pihak perusahaan. Hendri Wahyudi, Humas PT BRM, diminta untuk mendekati massa dan memberi penjelasan. Namun upaya ini gagal.
“Kami tidak mau bicara dengan Humas lagi. Sudah terlalu banyak janji. Kami ingin langsung bertemu pimpinan perusahaan, Viktor!” tegas Aidil Fitri Dt. Pangulu Bosou, koordinator aksi sekaligus tokoh adat setempat.
Menurut Aidil, perusahaan telah melanggar kesepakatan awal yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara PT BRM dengan para Ninik Mamak Nagari Ampek Koto Dibawuh. Dalam MoU tersebut, dijanjikan bahwa 550 hektare lahan akan diberikan kepada masyarakat sebagai bagian dari program kemitraan dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Tuntutan Tegas dan Ultimatum Masyarakat
Dalam orasinya, Aidil Fitri dengan lantang menyampaikan bahwa aksi ini bukan akhir dari perjuangan. Jika tuntutan tidak dipenuhi, maka aksi serupa dengan jumlah massa lebih besar akan kembali digelar.
“Sampai ada jawaban yang jelas, seluruh aktivitas PT BRM harus dihentikan. Kalau masih ada yang bekerja, jangan salahkan kami! Kami akan datang lagi dengan kekuatan lebih besar besok!” serunya, disambut pekikan setuju dari massa.
Adapun lima poin utama yang menjadi tuntutan masyarakat adalah:
- Mengembalikan lahan seluas 550 hektare kepada masyarakat sebagaimana dijanjikan.
- Menghapus status Areal Penggunaan Lain (APL) dari wilayah kerja PT BRM.
- Menyegerakan penetapan tata batas wilayah sesuai dengan aturan perundang-undangan.
- Mencabut laporan polisi yang dilayangkan PT BRM terhadap para Ninik Mamak Durian Simpai.
- Mengganti manajer lapangan bernama Viktor, yang dianggap sebagai simbol ketidakberpihakan perusahaan kepada masyarakat.
Laporan Polisi dan Sikap Pemkab Dharmasraya
Perseteruan ini tak berhenti di ranah aksi lapangan. Sebelumnya, PT BRM telah melaporkan sejumlah Ninik Mamak dari Nagari Durian Simpai-Koto Baru ke Polda Sumatera Barat. Tuduhan yang dilayangkan adalah tindakan penggembokan salah satu portal jalan yang digunakan perusahaan.
Namun, langkah hukum ini justru memperkeruh suasana. Pemerintah Kabupaten Dharmasraya mengambil sikap tegas dengan menyediakan pendampingan hukum bagi para pemuka adat yang dilaporkan. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk dukungan terhadap kearifan lokal dan upaya menjaga kehormatan lembaga adat.
PT BRM Pilih Bungkam
Hingga berita ini ditulis, PT BRM belum memberikan keterangan resmi. Hendri Wahyudi, yang sempat diminta klarifikasi oleh awak media, menolak memberikan pernyataan.
“Saya sedang syok. Saya tidak bisa memberi penjelasan,” ujarnya singkat dengan nada bingung sebelum meninggalkan lokasi.
Aksi ini menjadi penanda bahwa konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah. Di balik investasi dan ekspansi industri, suara masyarakat adat yang merasa dilanggar haknya terus menggema. Pertanyaannya kini: akankah PT BRM mendengar?
(Mond)
#SengketaLahan #Dharmasraya #LahanSawit #DemoWarga #SumateraBarat