Pasar Raya Padang Semrawut, Pedagang Enggan Pindah ke Los: Antara Kenyamanan Pembeli dan Ketidaksiapan Penataan
Kondisi Pasar Raya Padang yang tidak tertata rapi karena banyaknya pedagang yang berjualan tidak pada tempatnya, kemarin. (SILVINA/PADEK)
D'On, Padang — Semestinya menjadi ikon perdagangan modern di ibu kota Provinsi Sumatera Barat, kondisi Pasar Raya Padang.khususnya Blok II kini justru memunculkan ironi. Upaya penataan ulang ruang pasar oleh Dinas Perdagangan Kota Padang yang telah digulirkan dalam beberapa tahun terakhir tampaknya belum menjawab kebutuhan nyata para pedagang maupun perilaku belanja konsumen masa kini.
Alih-alih memanfaatkan los yang sudah disiapkan rapi di dalam bangunan pasar, para pedagang sayur justru memilih bertahan di bahu jalan dan trotoar di sekitar kawasan pasar. Kamis (22/5), pemandangan yang terekam dari lapangan memperlihatkan hampir nihilnya aktivitas jual beli di dalam los Pasar Raya Blok II. Sebaliknya, luar bangunan tampak penuh sesak: tikar-tikar plastik digelar di atas aspal, sayur-mayur ditumpuk seadanya, dan lalu lalang pembeli bercampur dengan deru kendaraan.
Pasar yang dibayangkan sebagai ruang niaga yang tertib, bersih, dan modern, kini justru menjelma menjadi titik kemacetan dan kekumuhan kota. Sebuah ruang urban yang kehilangan arah dalam mendefinisikan fungsi dan wajahnya.
"Kalau Masuk ke Dalam, Siapa yang Mau Beli?"
Di antara keramaian emperan, Yasmaini, 60 tahun, yang akrab disapa Yas, tampak sibuk menata dagangannya bayam, kangkung, cabai, dan beberapa jenis sayuran lain, berderet di atas alas plastik. Perempuan yang telah berjualan di Pasar Raya Padang selama lebih dari tiga dekade itu mengaku berat hati meninggalkan tempatnya berdagang sekarang.
“Los di dalam memang ada, tapi pembeli yang nggak ada. Kami ini bukan melawan aturan, tapi kalau dipaksa pindah ke dalam, ya kami bisa rugi. Di luar ini, pembeli gampang datang. Mereka belanja sambil lewat,” ujarnya dengan raut wajah yang menunjukkan lebih banyak kelelahan daripada keluhan.
Menurut Yas, meskipun berdagang di area liar berarti harus membayar biaya harian antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu ditambah ongkos kebersihan dan keamanan keuntungan yang didapat tetap lebih menjanjikan dibanding harus menunggu pembeli di dalam los yang sepi.
Kondisi berjualan yang jauh dari layak tanpa atap, rawan hujan, terik matahari, bahkan debu jalanan tidak menjadi alasan kuat untuk berpindah. Di luar, dagangan laku. Di dalam, dagangan tinggal.
Konsumen yang Ingin Praktis, Pedagang yang Terjepit
Senada dengan Yas, Tuti Sumarni (49), pedagang cabai merah yang juga sudah lama menggantungkan hidup dari berdagang di Pasar Raya, pernah mencoba pindah ke dalam los. Namun pengalaman itu tak berbuah manis.
“Pernah nyewa los waktu awal-awal pemerintah minta kami pindah. Tapi hampir nggak ada pembeli yang masuk. Tiga hari pertama, saya cuma jual sedikit. Rugi malah. Sekarang mending tetap di sini, walaupun seadanya,” tutur Tuti.
Ia melihat bahwa perubahan gaya hidup masyarakat berperan besar dalam fenomena ini. Konsumen saat ini lebih menyukai pola belanja yang cepat dan efisien. Mereka datang naik sepeda motor, berhenti sebentar, mengambil beberapa ikat sayuran, membayar, lalu pergi. Model belanja kilat ini tidak bisa difasilitasi oleh los yang terletak jauh di dalam gedung pasar.
“Kalau harus masuk ke dalam, parkir jauh, jalan kaki lagi, cuma buat beli cabai atau daun bawang, mana mau orang. Apalagi ibu-ibu yang buru-buru. Itu sebabnya kami tetap di luar,” kata Tuti sambil menunjuk ke arah motor-motor yang berderet di pinggir jalan.
Bukan Hanya Masalah Fasilitas, tapi Soal Akses dan Psikologi Belanja
Kasus ini mencerminkan bahwa persoalan revitalisasi pasar tidak cukup diselesaikan hanya dengan menyediakan bangunan dan los. Penataan fisik yang tidak dibarengi pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen dan kebutuhan pedagang, hanya akan menghasilkan proyek-proyek formalitas yang tampak rapi di atas kertas, tapi gagal dalam praktik.
Pasar adalah organisme hidup ia bergerak seiring ritme kota, denyut ekonomi warga, dan kebiasaan sosial masyarakat. Ketika perencanaan tidak bersandar pada realitas ini, maka pasar akan menolak berubah. Pedagang akan bertahan, pembeli akan menghindar, dan kekacauan akan jadi pemandangan rutin.
Harapan Baru: Zona Dagang yang Aksesibel dan Humanis
Pedagang berharap ada intervensi yang lebih adaptif dari Pemerintah Kota Padang. Solusi yang bukan sekadar mengusir pedagang dari trotoar, tetapi menciptakan zona dagang baru yang bersih, aman, nyaman, dan yang terpenting mudah dijangkau oleh pembeli.
Mereka mendambakan pasar yang tidak hanya tertib secara administratif, tapi juga hidup secara ekonomi. Sebuah ruang yang mengakomodasi realitas sosial masyarakat urban hari ini: mobilitas tinggi, kebutuhan belanja cepat, dan interaksi manusiawi antara penjual dan pembeli.
Sebab tanpa hal itu, pembangunan pasar betapa pun megahnya akan selalu menjadi bangunan kosong. Dan para pedagang kecil, yang seharusnya menjadi urat nadi ekonomi rakyat, akan terus bergulat dalam ketidakpastian.
(Mond)
#PasarrayaPadang #Padang #Perdagangan