Breaking News

Pantai Air Manis: Di Antara Keindahan, Mitos Malin Kundang, dan Realitas Pahit Pungli

Pantai Air Manis 

Dirgantaraonline
- Pantai Air Manis di Padang adalah lukisan alam yang memesona. Panorama laut yang luas membentang, pasir cokelat keemasan membelai kaki, dan pulau-pulau kecil seperti Pisang Ketek dan Pisang Gadang mengintip dari kejauhan. Tapi lebih dari itu, pantai ini menyimpan satu daya tarik legendaris: batu Malin Kundang, simbol abadi dari dongeng masa kecil yang mengandung pesan moral tentang durhaka dan kutukan seorang ibu. Namun, di balik keindahan dan mitos yang menggetarkan ini, tersembunyi kenyataan pahit: praktik pungutan liar (pungli) yang kian mencoreng wajah destinasi wisata ini.

Legenda yang Melekat, Tapi Tak Cukup Mengangkat

Legenda Malin Kundang sudah menjadi bagian dari DNA Pantai Air Manis. Wisatawan dari seluruh penjuru negeri, bahkan dari luar negeri, datang untuk melihat “batu anak durhaka” yang konon dikutuk sang ibu hingga menjadi batu. Cerita ini kuat. Imajinatif. Emosional. Tetapi seberapa jauh pemerintah dan pengelola memanfaatkan kekuatan cerita ini untuk membangun ekosistem wisata yang berkualitas dan berkelanjutan?

Sayangnya, banyak wisatawan mengeluh bahwa daya tarik cerita Malin Kundang tak diimbangi dengan fasilitas yang memadai. Area wisata tampak semrawut, papan informasi usang, toilet kotor, dan infrastruktur minim. Padahal, jika dikelola dengan serius, legenda ini bisa dikemas layaknya atraksi kelas dunia dengan teater rakyat, museum interaktif, hingga paket wisata budaya. Tapi yang terjadi? Potensi luar biasa ini tersandera oleh kelalaian tata kelola dan kerakusan oknum tertentu.

Pungli: Hantu yang Menakutkan Wisatawan

Ironi terbesar Pantai Air Manis bukan pada mitosnya, tapi pada realitas yang dihadapi wisatawan: pungutan liar. Mulai dari biaya parkir yang tak masuk akal, "retribusi tak resmi" yang dibebankan oleh oknum berpakaian preman, hingga penjaga parkir swasta dadakan yang muncul entah dari mana dan memaksa pungutan tanpa tiket.

Bayangkan, seorang wisatawan keluarga yang datang dengan mobil pribadi bisa dikenai biaya hingga puluhan ribu rupiah hanya untuk masuk dan parkir, tanpa kejelasan apakah itu retribusi resmi atau tidak. Lebih parah lagi, jika ada yang protes, mereka sering diintimidasi atau diminta ‘diam’ demi ketertiban. Ini bukan hanya mencoreng nama destinasi, tapi juga membunuh semangat wisata secara perlahan.

Pungli semacam ini bukan hanya melukai dompet, tetapi juga menebar rasa tidak aman. Pengalaman negatif semacam ini menyebar cepat di era media sosial. Sebuah unggahan pengalaman buruk bisa lebih efektif menjatuhkan reputasi pantai ini ketimbang ratusan spanduk promosi yang dipasang pemerintah daerah.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Pertanyaan yang layak diajukan: ke mana aparat penegak hukum? Ke mana pemerintah daerah? Ke mana Dinas Pariwisata? Apakah mereka tidak tahu, tidak peduli, atau pura-pura buta terhadap praktik yang sudah jadi rahasia umum ini?

Jika pengelolaan wisata hanya sebatas menjual tiket dan memungut retribusi tanpa pengawasan, maka Pantai Air Manis akan terjebak dalam lingkaran stagnasi. Lebih dari itu, kita harus berani menyebut: ketika aparat membiarkan pungli terjadi, itu artinya ada pembiaran, atau lebih buruk ada pembagian keuntungan.

Pengelolaan wisata seharusnya menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan pelaku usaha. Transparansi harus ditegakkan. Tiket harus resmi, sistem parkir harus terdata, dan semua pungutan harus masuk kas daerah, bukan kantong pribadi. Jika tidak, maka jangan salahkan siapa pun ketika wisatawan enggan kembali.

Panggilan untuk Berbenah

Pantai Air Manis masih punya harapan. Tapi itu tak cukup hanya dengan menjual pemandangan dan cerita legenda. Harus ada niat politik untuk memberantas pungli. Harus ada kesadaran kolektif untuk memperlakukan wisatawan sebagai tamu yang dihargai, bukan sapi perah. Harus ada investasi dalam infrastruktur, edukasi petugas, dan narasi budaya yang digarap serius.

Jika tidak, legenda Malin Kundang akan menjadi alegori yang menyedihkan: bukan hanya tentang anak durhaka, tapi juga tentang negeri yang mendurhakai potensi emasnya sendiri.

Bila Anda setuju bahwa Pantai Air Manis layak mendapatkan pengelolaan yang lebih baik, maka sebarkan opini ini. Karena perubahan kadang dimulai dari suara yang tak ingin lagi diam.

Penulis: Osmond Abu Khalil 

#Opini