Ormas GRIB Jaya Kuasai Lahan BMKG, Tuntut Ganti Rugi Rp5 Miliar
D'On, Tangerang Selatan — Di balik pembangunan Gedung Arsip Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang seharusnya menjadi simbol transparansi dan pengelolaan data negara yang modern, muncul kisah penuh ketegangan di jantung Pondok Betung, Tangerang Selatan. Sebidang tanah milik negara seluas lebih dari 12 hektare kini menjadi medan konflik antara institusi negara dan sebuah organisasi masyarakat (ormas) bernama GRIB Jaya.
BMKG resmi melaporkan ormas GRIB Jaya ke Polda Metro Jaya atas dugaan pendudukan ilegal terhadap tanah negara. Tak hanya menduduki, ormas tersebut juga dilaporkan meminta kompensasi fantastis Rp 5 miliar sebagai "syarat damai". Uang tersebut diminta agar mereka menarik massa dan menghentikan pendudukan yang telah menghambat pembangunan strategis negara.
Sertifikat Negara dan Vonis MA yang Diabaikan
Tanah yang kini disengketakan bukanlah milik pribadi ataupun warisan leluhur. Dokumen sah negara mencatat, tanah tersebut merupakan aset resmi milik BMKG berdasarkan sertifikat hak pakai Nomor 1/2003. Lebih dari itu, kepemilikan lahan ini telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung (MA) bernomor 396 PK/PDT/2000 vonis hukum tetap yang seharusnya tak bisa diganggu gugat.
Namun, saat pembangunan Gedung Arsip BMKG dimulai pada November 2023, situasi berubah drastis. Sekelompok orang yang mengklaim sebagai ahli waris datang dengan dukungan massa dari ormas. Mereka menghentikan paksa pekerjaan konstruksi, menarik alat berat dari lokasi, menutup papan proyek, dan mendirikan pos penjagaan permanen di atas lahan negara.
Lebih mengejutkan, mereka secara terang-terangan menyampaikan tuntutan uang ganti rugi. “Ormas meminta uang Rp 5 miliar sebagai syarat untuk menarik massa dan menghentikan pendudukan,” ungkap Biro Hukum BMKG dalam pernyataan resminya.
Lahan Disewakan, Bangunan Liar Bermunculan
Dalam investigasi internal BMKG, ditemukan fakta bahwa sebagian lahan kini bahkan telah disewakan ke pihak ketiga oleh kelompok tersebut. Bangunan semi permanen berdiri tanpa izin resmi, menciptakan kesan bahwa lahan ini adalah milik pribadi, padahal merupakan milik negara yang dilindungi hukum.
BMKG tak tinggal diam. Mereka telah menempuh jalur persuasif mengadakan koordinasi dengan tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, hingga pihak kepolisian. Namun hasilnya nihil. Upaya damai tidak digubris, dan pendudukan terus berlanjut.
Salah seorang warga sekitar, Imran, mengungkap bahwa dua tahun lalu memang mulai terlihat aktivitas pembangunan posko oleh kelompok ormas. “Dulunya kosong, sekarang ada pos, kadang ramai. Siapa yang kasih izin, kami juga enggak tahu,” ujarnya.
Proyek Negara Terganggu: Arsip Nasional Terancam
Gedung Arsip BMKG bukan sekadar proyek fisik. Ini adalah proyek multiyears bernilai strategis tinggi, dirancang untuk menyimpan dokumen-dokumen vital kenegaraan. Diharapkan rampung dalam 150 hari kerja sejak akhir 2023, pembangunan kini terancam molor bahkan gagal akibat okupasi ilegal ini.
"Fasilitas ini penting untuk akuntabilitas dan transparansi kelembagaan kami. Kalau proyek ini terhambat, itu bukan hanya kerugian bagi BMKG, tapi juga bagi bangsa," tegas seorang pejabat BMKG yang enggan disebutkan namanya.
BMKG Desak Penegakan Hukum
BMKG kini mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat dan tegas. Aset negara harus dilindungi, bukan diobral atau dijadikan alat tawar menawar. Langkah penertiban dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum dan menjaga agar proyek strategis tak tersandera oleh tekanan massa.
“Ini bukan hanya soal tanah. Ini tentang bagaimana negara hadir dan melindungi apa yang menjadi haknya dari praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum,” tegas Biro Hukum BMKG.
Konflik ini kini menjadi ujian nyata bagi pemerintah dan aparat penegak hukum: apakah negara bisa menjaga kedaulatannya atas aset-aset vital, atau justru tunduk pada tekanan ormas? Waktu yang akan menjawab.
(Mond)
#GRIBJaya #BMKG #SengketaLahan