Breaking News

Mengapa Kerajaan Arab Saudi Bukan dari Keturunan Nabi Muhammad SAW?

Gambar Ilustrasi 

Dirgantaraonline
- Keturunan Sang Nabi dan Panggung Sejarah Arab.

Nabi Muhammad SAW berasal dari suku Quraisy, lebih tepatnya dari Bani Hasyim, salah satu klan paling terhormat di Makkah. Setelah wafatnya Rasulullah pada tahun 632 M, kepemimpinan umat Islam berpindah ke Khulafaur Rasyidin, bukan kepada keturunannya secara langsung. Meski keturunannya tetap dihormati dan dimuliakan, mereka tidak secara otomatis mewarisi kekuasaan politik.

Selama berabad-abad, banyak kekhalifahan dan dinasti bangkit dan runtuh, dari Umayyah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah, namun tak satu pun dari mereka berasal dari keturunan langsung Nabi SAW. Demikian pula, ketika tanah Hijaz tempat dua kota suci, Makkah dan Madinah berada dalam bayang-bayang kekuasaan global Islam, tidak ada satupun kekuasaan yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad yang berhasil mendirikan negara di sana. Lalu dari mana datangnya kekuasaan Arab Saudi? Mengapa bukan keturunan Rasulullah SAW yang memimpin tanah suci?

Untuk menjawabnya, kita harus mundur ke abad ke-18, ke jantung padang pasir Najd, tempat awal mula berdirinya sebuah kekuatan baru: Keluarga Al Saud.

Najd, Lembah Sunyi yang Terlupakan

Najd bukanlah wilayah yang glamor. Ia tandus, gersang, dan jauh dari perhatian kekuatan besar dunia Islam. Sementara wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah) sibuk dengan urusan haji dan diplomasi kekhalifahan Utsmaniyah, Najd tetap seperti dunia yang lain dipenuhi kabilah-kabilah nomaden yang sering bertikai satu sama lain.

Di sinilah lahir seorang pria bernama Muhammad bin Saud, kepala kecil dari suku kecil, yang memiliki ambisi besar. Tapi ia bukan satu-satunya yang punya tekad untuk mengubah nasib dunia Islam.

Pertemuan Takdir  Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab

Tahun 1744 menjadi titik balik besar dalam sejarah Arab. Di sebuah desa bernama Diriyah, Muhammad bin Saud bertemu dengan seorang ulama yang kontroversial dan revolusioner: Muhammad bin Abdul Wahhab.

Bin Abdul Wahhab membawa gagasan reformasi Islam yang radikal. Ia ingin mengembalikan Islam ke bentuk paling murni, dengan memberantas apa yang ia anggap sebagai bid’ah, khurafat, dan kesyirikan yang telah merajalela di dunia Islam, termasuk di Tanah Hijaz. Ia menolak praktik ziarah kubur, tabarruk, dan kultus kepada wali, hal-hal yang sudah mengakar dalam tradisi banyak kaum Muslimin saat itu.

Muhammad bin Saud melihat peluang. Ia punya kekuasaan dan senjata. Abdul Wahhab punya ideologi dan legitimasi agama. Mereka bersatu dalam sebuah perjanjian: al-dakwah wal-sayf (dakwah dan pedang).

Lahirnya Negara Saudi Pertama

Koalisi ini melahirkan Negara Saudi Pertama (1744–1818). Mereka menaklukkan wilayah demi wilayah di Najd, hingga akhirnya menguasai Makkah dan Madinah pada awal 1800-an. Tapi keberhasilan ini membuat Kekhalifahan Utsmaniyah marah besar.

Utsmaniyah lalu memerintahkan wali mereka di Mesir, Muhammad Ali Pasha, untuk menghancurkan kekuatan Saudi. Pada 1818, pasukan Mesir menghancurkan Diriyah dan menangkap pemimpin Saudi, Abdullah bin Saud. Ia dibawa ke Istanbul dan dieksekusi secara terbuka.

Namun ideologi Wahhabisme dan semangat keluarga Saud tidak mati.

Bangkit dari Abu, Negara Saudi Kedua dan Ketiga

Setelah kehancuran Negara Saudi Pertama, keluarga Saud mundur ke padang pasir. Tapi pada 1824, mereka kembali mendirikan Negara Saudi Kedua, kali ini dengan ibu kota di Riyadh. Meski lebih lemah dan akhirnya jatuh pada 1891 akibat perang antar suku, bibit kekuasaan masih tertanam kuat.

Yang paling menentukan adalah kebangkitan Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud, atau lebih dikenal sebagai Ibn Saud. Ia adalah seorang pemuda pengasingan yang hidup di Kuwait, keturunan langsung dari pendiri Diriyah.

Pada 1902, Ibn Saud dan segelintir pengikutnya merebut kembali kota Riyadh dalam serangan fajar yang legendaris. Inilah awal mula Negara Saudi Ketiga, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi modern.

Perjalanan Menuju Kerajaan

Selama tiga dekade berikutnya, Ibn Saud menaklukkan satu demi satu wilayah di Semenanjung Arab. Ia menggunakan kekuatan militer dari suku-suku bedouin yang telah didoktrin Wahhabisme melalui gerakan "Ikhwan". Tahun 1925, ia berhasil merebut Makkah dan Madinah dari tangan Syarif Hussein, pemimpin Hijaz yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW.

Menariknya, Syarif Hussein adalah pemimpin Hashemit, satu dari sedikit keluarga yang benar-benar merupakan sayyid, yakni keturunan Rasulullah SAW. Ia dulu bekerja sama dengan Inggris dalam pemberontakan Arab melawan Utsmaniyah. Namun, kekuasaannya runtuh oleh tangan Ibn Saud, bukan karena keturunan, tapi karena kalah kekuatan politik dan militer.

Tahun 1932, Ibn Saud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi, dan dirinya sebagai Raja pertama.

Epilog: Kekuasaan, Keturunan, dan Legitimasi

Mengapa bukan keturunan Nabi Muhammad SAW yang memimpin Arab Saudi?

Jawabannya terletak pada dinamika sejarah, kekuatan militer, dan legitimasi ideologis. Keturunan Nabi memang dimuliakan, tapi mereka tidak selalu memiliki kekuatan politik atau militer yang dibutuhkan untuk membangun dan mempertahankan negara. Sebaliknya, keluarga Al Saud memiliki dua hal penting:

  1. Kekuatan militer dan politik melalui aliansi suku dan perluasan wilayah.
  2. Legitimasi religius melalui aliansi dengan Wahhabisme, yang memberi mereka citra sebagai penjaga kemurnian Islam.

Hari ini, Kerajaan Arab Saudi tetap memerintah sebagai monarki absolut, dengan kekuatan politik diwariskan secara turun-temurun, bukan berdasarkan nasab kenabian, melainkan melalui dinasti Al Saud yang membentuk kekuasaan berdasarkan kekuatan dan strategi, bukan garis darah Nabi.

(***)

#Sejarah #KerajaanArabSaudi #Internasional #ArabSaudi