Korban Tragedi Kapal Wisata Tenggelam di Bengkulu Bertambah jadi 8 Orang
Keluarga salah seorang korban jiwa kapal tenggelam di Bengkulu, Silvia Alvonita.
D'On, Bengkulu – Gelombang duka kembali menghantam keluarga korban tragedi tenggelamnya kapal wisata KM 3 Putra di perairan Bengkulu. Setelah berjuang selama 24 jam dalam kondisi kritis, Silvia Alvionita (27), satu dari sedikit korban yang sempat diselamatkan dari maut, akhirnya mengembuskan napas terakhir di ruang ICU RS Bhayangkara Bengkulu, Senin malam (12/5/2025) pukul 20.30 WIB.
Kabar duka ini menambah panjang daftar korban jiwa dalam insiden tersebut, menjadi delapan orang tewas. Silvia, warga Desa Sambirejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, menjadi simbol betapa mahalnya harga nyawa dalam tragedi yang seharusnya bisa dicegah.
Perjuangan Terakhir Seorang Penumpang
Silvia bukan penumpang biasa. Ia adalah satu dari enam sahabat yang memutuskan untuk menikmati keindahan Pulau Tikus, destinasi wisata populer di Bengkulu, pada Minggu sore (11/5/2025). Mereka menumpangi kapal wisata KM 3 Putra — kapal yang belakangan dipertanyakan legalitas dan standar keamanannya.
Namun perjalanan yang semula penuh tawa dan ekspektasi itu berubah jadi mimpi buruk. Di tengah laut, kapal mengalami masalah dan perlahan karam ke dasar perairan. Silvia sempat terjebak di dalam lambung kapal yang mulai dipenuhi air. Dalam keadaan panik dan gelap gulita, ia tak mampu menyelamatkan diri sendiri.
Beruntung, seorang teman pria berhasil menyelam dan menarik tubuh Silvia keluar dari reruntuhan kapal. Namun, saat ditemukan, ia sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sejak itu, ia tidak pernah siuman hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir sehari kemudian.
“Korban memang dalam kondisi sangat kritis sejak awal masuk rumah sakit. Tidak pernah sadar,” ungkap Debby, perwakilan RS Bhayangkara, saat dikonfirmasi pada Selasa (13/5/2025).
Jenazah Silvia telah dipulangkan ke kampung halamannya di Desa Sambirejo. Suasana pilu menyelimuti rumah duka, diiringi tangis keluarga dan sahabat yang tak menyangka liburan berakhir dengan kehilangan selamanya.
Paman Korban Suarakan Kegeraman: “Mana Tanggung Jawabnya?”
Duka tak hanya datang dari kepergian Silvia. Ada kemarahan yang mulai menyeruak dari pihak keluarga, mempertanyakan banyak hal yang hingga kini belum mendapat jawaban. Sang paman, Dody Dores, dengan nada getir mempertanyakan legalitas agen travel yang mengoperasikan kapal tersebut dan kinerja kru kapal (anak buah kapal/ABK) yang dinilainya lalai.
“Saya sangat menyayangkan, kenapa kru kapal tidak berusaha menyelamatkan keponakan saya? Di mana tanggung jawab mereka sebagai operator kapal wisata?” ujarnya.
Dody mendesak pemerintah dan otoritas maritim setempat untuk segera mengevaluasi seluruh kegiatan wisata laut, terutama di kawasan Bengkulu. Ia menegaskan bahwa tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, tetapi juga cerminan buruknya sistem pengawasan terhadap transportasi wisata laut.
Panggilan untuk Negara: Evaluasi Menyeluruh dan Penegakan Hukum
Kasus KM 3 Putra tidak hanya mencuri nyawa, tetapi juga menampar kesadaran publik soal minimnya pengawasan dan lemahnya regulasi. Pulau Tikus, sebagai magnet wisata, ternyata belum didukung sistem transportasi laut yang layak dan aman.
Apakah kapal yang digunakan memiliki izin operasi? Apakah kru sudah terlatih untuk menghadapi situasi darurat? Dan mengapa penumpang tidak mendapatkan pelampung sebelum keberangkatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini kini menggema tidak hanya di telinga keluarga korban, tapi juga masyarakat luas. Kecelakaan ini menjadi alarm keras bahwa pariwisata yang tidak dibarengi keselamatan hanya akan menanam benih bencana.
Pemerintah diminta tidak lagi abai. Evaluasi total terhadap legalitas kapal, kelaikan awak, hingga prosedur keselamatan harus dilakukan. Bila tidak, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan terulang, dengan lebih banyak korban yang berjatuhan.
Duka yang Jadi Simbol Perlawanan
Silvia kini telah tiada, namun kisahnya tidak boleh berakhir sebagai statistik belaka. Ia adalah wajah dari banyak wisatawan yang mempercayakan keselamatan mereka pada sistem yang rapuh.
Tangis keluarga korban adalah panggilan untuk perubahan. Tragedi ini adalah luka kolektif yang seharusnya menyadarkan bahwa keselamatan tidak boleh menjadi opsi ia harus jadi keharusan.
Delapan nyawa melayang bukan karena alam, tetapi karena kelalaian.
(Mond)
#Peristiwa #KapalWisataTenggelam #Bengkulu