Breaking News

GRIB Jaya Bantah Rebut Lahan BMKG di Tangsel: “Kami Hanya Membela Ahli Waris yang Terpinggirkan”

Lahan milik BMKG yang diduga dikuasai ormas di Tangsel. Foto: Istimewa

D'On, Tangerang Selatan
Di tengah memanasnya konflik agraria di Kota Tangerang Selatan, organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya) angkat bicara. Mereka membantah keras tudingan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebut ormas tersebut telah menguasai lahan milik negara di wilayah Kelurahan Pondok Betung.

Tudingan itu muncul setelah BMKG secara resmi melaporkan dugaan penyerobotan lahan ke Polda Metro Jaya. Namun, GRIB Jaya membalikkan narasi tersebut, menyatakan bahwa kehadiran mereka di lokasi bukan sebagai pelaku perebutan tanah, melainkan sebagai pendamping hukum dari para ahli waris yang selama puluhan tahun berjuang mengklaim hak mereka atas tanah leluhur.

“GRIB Jaya tidak pernah menguasai lahan seperti yang diberitakan. Kami hadir atas permintaan resmi para ahli waris sebagai pendamping hukum dan advokat,” tegas Wilson Colling, Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, melalui pernyataan tertulis pada Sabtu (24/5).

Lahan Sengketa yang Sarat Sejarah

Wilson mengungkap bahwa pendampingan hukum terhadap ahli waris ini telah dimulai sejak tahun 2024, setelah para pewaris merasa perjuangan mereka selama bertahun-tahun melalui jalur peradilan tak kunjung mendapat keadilan. Tanah seluas sehamparan di kawasan Pondok Betung itu, menurutnya, merupakan tanah warisan yang telah dihuni turun-temurun dan dibuktikan secara administratif dengan kepemilikan girik.

“Ini tanah warisan, bukan tanah negara seperti yang diklaim sepihak oleh BMKG. Ahli waris sudah tinggal di situ bahkan sebelum BMKG membeli lahan itu di tahun 1970-an,” ujarnya.

Sengketa kepemilikan lahan antara ahli waris dan BMKG telah berlangsung selama beberapa dekade, tepatnya sejak era 1980-an. BMKG mengklaim telah membeli tanah tersebut dari pihak ketiga pada era 70-an dan menggugat para penghuni melalui jalur perdata. Namun menurut GRIB, gugatan itu kandas di tiga pengadilan: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung.

BMKG kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2007 dan memang berhasil mengantongi kemenangan sebagian. Tetapi, menurut Colling, putusan tersebut tidak pernah disertai dengan perintah eksekusi maupun pengalihan hak kepemilikan secara sah.

“Putusan PK itu tidak memerintahkan penyerahan girik dan tidak ada perintah eksekusi. Jadi secara hukum, BMKG tidak punya dasar untuk mengosongkan lahan secara paksa,” jelasnya.

Tudingan Permintaan Uang Rp 5 Miliar: “Fitnah Tanpa Bukti”

Salah satu tudingan yang mencuat dalam pusaran sengketa ini adalah dugaan bahwa pihak tertentu dari GRIB Jaya meminta uang sebesar Rp 5 miliar kepada BMKG. Wilson Colling dengan tegas membantahnya.

“Kami tantang siapa pun yang menuduh untuk membuktikan. Sebutkan namanya, kapan, di mana, dan tunjukkan buktinya. Tangkap kalau memang ada. Jangan lempar isu murahan untuk menjatuhkan kami,” ujarnya geram.

Rumah Warga Dihancurkan: “Eksekusi Ilegal Bermodal Alat Berat”

Tak hanya itu, GRIB Jaya juga mengecam tindakan BMKG yang disebut menghancurkan sebagian rumah warga di lokasi sengketa tanpa membawa surat perintah eksekusi resmi dari pengadilan. Aksi tersebut dilakukan menggunakan alat berat, yang dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum.

“Ini bentuk pelanggaran hukum. Tidak bisa negara seenaknya datang dan merobohkan rumah warga hanya bermodal klaim sepihak. Harus ada keputusan hukum yang jelas dan eksekusi sah dari pengadilan,” tegas Colling.

“Premanisme” atau Pembela Rakyat?

GRIB Jaya juga menyoroti narasi negatif yang berkembang di publik, di mana ormas mereka kerap dicap sebagai pelaku “premanisme” dalam konflik agraria. Wilson menilai labelisasi ini adalah cara sistematis untuk membungkam keberadaan ormas yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.

“Ini adalah framing yang jahat. Seolah-olah membela hak rakyat itu kejahatan. Kami hanya membantu masyarakat yang selama ini terpinggirkan,” ujarnya.

Seruan ke Aparat: “Tegakkan Hukum Tanpa Tekanan”

Menutup pernyataannya, GRIB Jaya meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, agar tetap profesional dalam menangani konflik ini dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan atau opini publik yang belum tentu berdasar.

“Kami akan tetap berada di sisi ahli waris dan mengawal proses ini lewat jalur hukum. Kami minta kepolisian bekerja adil dan tidak memihak siapa pun. Jangan korbankan hukum demi kepentingan instansi,” pungkas Wilson.

Konflik lahan di Pondok Betung ini kini telah menjadi potret buram tarik ulur antara negara dan rakyat kecil dalam persoalan agraria yang belum kunjung menemukan titik terang. Di balik perseteruan hukum yang panjang, ada warga-warga yang rumahnya telah runtuh, ada warisan keluarga yang dipertaruhkan, dan ada sistem keadilan yang diuji konsistensinya.

(Mond)

#GRIBJaya #BMKG #SengketaLahan