Breaking News

Dua Napi Tewas di Lapas Bukittinggi Akibat Pesta Miras Parfum, DPR Geram dan Panggil Dirjenpas

Ilustrasi miras oplosan. (Istimewa)

D'On, Jakarta
Dua narapidana meregang nyawa, 23 lainnya keracunan, dan sistem pemasyarakatan kembali tercoreng. Tragedi pesta minuman keras oplosan bercampur bahan baku parfum yang terjadi di Lapas Kelas II Bukittinggi, Sumatera Barat, membuka tabir kelam lemahnya pengawasan dalam lembaga pemasyarakatan. Sorotan tajam pun datang dari DPR RI.

Anggota Komisi III DPR, Mafirion, angkat bicara dengan nada prihatin sekaligus tegas. Menurutnya, kasus ini bukan sekadar kecelakaan tragis, melainkan cerminan sistemik dari kebobrokan tata kelola lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan arena kematian.

“Kami prihatin. Bagaimana mungkin narapidana bisa berpesta miras, bahkan yang dicampur bahan kimia parfum, tanpa terdeteksi? Ini menunjukkan ada kelalaian serius, bahkan bisa jadi pembiaran,” ujar Mafirion, Sabtu (3/5/2025).

Komisi III DPR tak tinggal diam. Mafirion menyatakan, pihaknya akan segera memanggil seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), mulai dari Dirjen, Sekretaris Ditjen, para direktur, hingga seluruh kepala kantor wilayah se-Indonesia. Pemanggilan ini untuk mengurai benang kusut pengelolaan lapas yang selama ini tampak rapuh dan rentan.

Kasus miras oplosan bukan peristiwa tunggal. Beberapa waktu sebelumnya, Rutan Pekanbaru juga digegerkan dengan pesta miras dan narkoba di dalam tahanan. Mafirion menilai, peristiwa demi peristiwa ini menunjukkan ada celah besar dalam sistem pengawasan.

“Kita belum selesai dengan satu kasus, sudah muncul lagi kasus baru. Tahun 2025 saja sudah beberapa kali terjadi insiden serupa. Ini alarm keras bahwa sistem pengawasan kita bocor di banyak titik,” tegasnya.

Miras dari Parfum: Potret Kemandirian yang Melenceng

Ironisnya, bahan utama miras oplosan yang menewaskan napi Bukittinggi diduga berasal dari alkohol parfum yang digunakan dalam program pembinaan kemandirian warga binaan. Program yang sejatinya dirancang untuk melatih napi agar produktif justru menjadi senjata makan tuan.

Alkohol parfum itu dicampur dengan minuman sachet, es batu, dan air, lalu dikonsumsi bersama-sama dalam pesta maut yang berujung pada kematian dua napi dan keracunan massal lainnya.

Mafirion menegaskan bahwa Ditjenpas Sumatera Barat harus menggelar investigasi independen dan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik. Menurutnya, semua pihak yang terlibat, mulai dari petugas penjaga hingga kepala lapas, harus diperiksa secara menyeluruh.

“Jika ada unsur kelalaian atau keterlibatan langsung, tak bisa hanya diberi sanksi administratif. Harus ada hukuman tegas. Ini menyangkut nyawa manusia,” tegasnya.

“Mereka Tetap Manusia, Jangan Biarkan Mati Sia-Sia”

Mafirion juga menekankan pentingnya memanusiakan narapidana. Meski sedang menjalani hukuman, mereka tetap memiliki hak atas keselamatan dan kehidupan yang layak selama berada dalam tahanan negara.

“Kita jangan menormalisasi kematian napi di lapas seolah itu biasa. Mereka punya keluarga, punya hak untuk dilindungi. Kalau sistem kita tak mampu menjamin itu, berarti ada yang salah secara fundamental,” ujarnya.

Desak Peta Jalan Lapas: “Kalau Tidak, Kasus Akan Terus Terulang”

Di tengah berbagai insiden yang terus bermunculan, Mafirion kembali mengusulkan penyusunan peta jalan reformasi lembaga pemasyarakatan. Menurutnya, ini satu-satunya cara untuk membongkar akar permasalahan dan membangun sistem pemasyarakatan yang lebih humanis, aman, dan terkontrol.

Sayangnya, meski usulan itu sudah lama mengemuka, Mafirion menyebut proses penyusunannya stagnan.

“Kalau terus dibiarkan tanpa tindakan nyata dari pemerintah, apalagi Ditjenpas, jangan kaget kalau tragedi seperti ini akan terus berulang,” katanya.

Ia juga menilai, sanksi ringan seperti pembebasan tugas atau penundaan kenaikan pangkat bagi petugas lapas terbukti tidak menimbulkan efek jera. Karena itu, hukuman harus ditingkatkan hingga ke pemecatan tidak hormat, termasuk terhadap pejabat Kanwil jika terbukti lalai.

“Ini saatnya tindakan tegas, bukan sekadar imbauan atau evaluasi di atas kertas,” tutup Mafirion.

Tragedi Lapas Bukittinggi menjadi cermin betapa lembaga yang seharusnya menjadi tempat pembinaan justru berubah menjadi arena kematian. Jika sistem tak segera dibenahi, bukan mustahil jeruji besi justru menjadi ruang tanpa harapan.

(Mond)

#MirasOplosan #LapasBukittinggi #DPR