Breaking News

BMKG Laporkan GRIB Jaya: Sengketa Lahan Negara di Tengah Proyek Vital Nasional

Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya meramaikan pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Ahad, 20 Oktober 2024. Ormas yang diketuai oleh Hercules Rosario Marshal ini terlihat sepanjang jalan Sudirman sampai depan Istana Merdeka saat upacara pelantikan presiden dan wakil presiden di Gedung DPR/MPR. TEMPO/Ilham Balindra

D'On, Tangerang Selatan
Sengketa lahan kembali mencuat ke permukaan, kali ini melibatkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB Jaya). BMKG secara resmi melaporkan ormas tersebut ke Kepolisian Daerah Metro Jaya atas dugaan pendudukan ilegal atas lahan negara seluas 127.780 meter persegi yang terletak di kawasan strategis Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan, Banten.

Laporan ini bukan sekadar langkah administratif. Di baliknya tersembunyi kisah panjang tarik-menarik kepemilikan, intimidasi terhadap pekerja negara, hingga terhambatnya proyek pembangunan gedung vital untuk negara.

Laporan Resmi dan Permohonan Pengamanan

Dalam surat resmi bernomor e.T/PL.04.00/001/KB/V/2025, BMKG mengajukan permohonan bantuan pengamanan terhadap aset tanah negara yang mereka kelola. Surat itu ditembuskan kepada berbagai institusi penting: mulai dari Satgas Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas Kemenko Polhukam, hingga jajaran kepolisian dari tingkat Polda Metro Jaya hingga Polsek Pondok Aren.

“BMKG memohon bantuan pihak berwenang untuk menertibkan Ormas GRIB Jaya yang tanpa hak menduduki dan memanfaatkan aset tanah negara milik BMKG,” ujar Akhmad Taufan Maulana, Plt. Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.

Lahan Negara Dijadikan Pos Jaga dan Disewakan

Persoalan ini bukan baru terjadi kemarin. Menurut Taufan, gangguan terhadap penguasaan tanah BMKG sudah berlangsung hampir dua tahun. Titik kritis terjadi sejak dimulainya pembangunan Gedung Arsip Nasional BMKG pada November 2023. Proyek tersebut, yang merupakan program multi-tahun, terganggu karena sejumlah orang yang mengaku sebagai ahli waris muncul dan melakukan berbagai tindakan penghalangan.

“Papan proyek ditutupi dengan spanduk bertuliskan 'Tanah Milik Ahli Waris'. Para pekerja ditakut-takuti, alat berat diusir dari lokasi, bahkan aktivitas konstruksi dihentikan secara paksa,” jelas Taufan. Lebih jauh, BMKG menemukan fakta bahwa ormas tersebut mendirikan pos jaga permanen di area proyek, menempatkan anggota mereka secara bergiliran, dan bahkan menyewakan sebagian lahan kepada pihak ketiga.

Status Hukum Lahan Sangat Jelas

Tak ada celah untuk meragukan status lahan tersebut, tegas BMKG. Kepemilikan tanah tersebut telah ditetapkan melalui Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Pondok Betung Tahun 2003, sebelumnya tercatat sebagai SHP No. 0005/Pondok Betung. Sertifikat ini diperkuat dengan putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), termasuk Putusan Mahkamah Agung RI No. 396 PK/Pdt/2000 tertanggal 8 Januari 2007.

Bahkan Ketua Pengadilan Negeri Tangerang sendiri telah menyatakan bahwa seluruh putusan hukum terkait lahan tersebut saling menguatkan dan tidak lagi memerlukan proses eksekusi tambahan. Namun di lapangan, keabsahan hukum itu tampaknya tak membuat gentar pihak-pihak yang bersikeras menduduki lahan.

Upaya Persuasif Tak Membuahkan Hasil

BMKG tidak tinggal diam. Pendekatan persuasif telah ditempuh melalui koordinasi lintas lembaga dan berbagai tingkatan pemerintahan: dari RT, RW, kecamatan, hingga aparat kepolisian. Pertemuan langsung dengan ormas dan pihak yang mengklaim sebagai ahli waris pun telah dilakukan.

Namun, alih-alih menemukan titik temu, upaya damai itu justru menemui jalan buntu. Dalam salah satu pertemuan, ungkap Taufan, pimpinan ormas bahkan menuntut kompensasi sebesar Rp5 miliar sebagai syarat untuk menghentikan pendudukan.

Ancaman Terhadap Proyek Strategis Negara

Gedung Arsip BMKG yang kini pembangunannya terhambat bukan sekadar bangunan biasa. Fasilitas ini dirancang untuk menunjang layanan publik, audit, investigasi, serta keterbukaan informasi kelembagaan. Ia merupakan simbol dari upaya BMKG dalam memperkuat akuntabilitas dan transparansi sebagai institusi negara.

“Ini bukan hanya soal gedung, tapi tentang keberlangsungan tata kelola negara yang baik. Kami tidak bisa membiarkan proyek strategis negara ini dihambat oleh pendudukan ilegal,” tegas Taufan.

BMKG kini berharap aparat keamanan bergerak cepat dan tegas untuk menertibkan lahan tersebut, agar pembangunan dapat dilanjutkan sesuai jadwal, dan aset negara dapat kembali aman.

Catatan: Kasus ini mencerminkan dinamika pelik antara kepentingan hukum negara dan klaim masyarakat sipil, yang kerap berujung pada konflik fisik di lapangan. Kepastian hukum dan keberanian penegakan aturan menjadi kunci dalam menjaga wibawa negara dan kepentingan publik.

(T)

#GRIBJaya #BMKG #Premanisme #SengketaLahan