Breaking News

12 Mei 1998 Sejarah Kelam Reformasi di Kampus Trisakti


Dirgantaraonline.co.id,- Dalam sejarah Indonesia, Tragedi Trisakti menjadi salah satu simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru.

Sebab, setelah tragedi tersebut, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar.

Hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998.

Posisi kampus yang strategis, dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus.

Awalnya tidak ada masalah.
Aksi bermula sekitar pukul 11.00 WIB dan orasi pun dilakukan para guru besar, dosen, dan mahasiswa.

Hingga negosisasi pada siang hari juga berjalan damai.

Pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril sepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.

Berdasarkan kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR.

Hanya saja semua berubah ketika aksi tersebut berjalan hingga pukul 17.00 WIB.
Pada saat itu, sebagian mahasiswa juga mulai masuk ke dalam kampus.

Tiba-tiba, penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi.

Para mahasiswa berlarian ketakutan.
Dalam berbagai dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.

Aparat keamanan tidak hanya menembak dengan menggunakan peluru karet.
Pihak kampus pun menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan menggunakan peluru tajam.

Misteri penembak

Dikutip dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016) yang ditulis Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto.

Peluru itu biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1.

Saat itu, senjata Styer digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus.

Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil yang sama.
Hal senada juga didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.

Namun, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak buahnya menggunakan peluru tajam.

Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.

Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun kemudian juga tidak dapat mengungkap siapa penembak mahasiswa yang menggunakan peluru tajam dan motifnya.

Enam terdakwa hanya dituduh dengan sengaja tidak menaati perintah atasan.
Misteri penembakan masih menyelimuti sejarah kelam itu.

Akan tetapi, empat mahasiswa yang tewas dalam Tragedi 12 Mei 1998, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie, tetap dikenang sebagai pahlawan reformasi.

(***)