Breaking News

UU MD3 Digugat di MK: Dorongan Berani Agar Rakyat Bisa Berhentikan Anggota DPR yang Tak Lagi Layak

Suasana Rapat Paripurna Ke-7 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/11/2025). Rapat yang dihadiri oleh 279 anggota DPR tersebut beragendakan pidato pembukaan masa persidangan oleh Ketua DPR dan pelantikan pengganti antarwaktu (PAW) anggota DPR dan anggota MPR masa jabatan tahun 2024-2029.

D'On, Jakarta
- Sebuah gugatan berani kembali menghampiri Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan soal sengketa hasil pemilu, bukan pula tentang perselisihan antar lembaga negara. Kali ini, yang dipertaruhkan adalah hubungan langsung antara rakyat dan wakilnya di Senayan—hubungan yang selama ini dianggap timpang dan terlalu dikuasai oleh partai politik.

Lima mahasiswa: Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna, mengajukan uji materi atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3). Fokus keberatan mereka tertuju pada Pasal 239 ayat (2) huruf d, sebuah ketentuan yang menempatkan partai politik sebagai satu-satunya pihak yang bisa mengusulkan pemberhentian anggota DPR.

Langkah para mahasiswa ini bukan sekadar gugatan normatif. Bagi mereka, ini adalah upaya merebut kembali kedaulatan rakyat yang tampak hilang setelah pemilu usai.

“Permohonan a quo ini tidak lahir dari kebencian terhadap DPR atau partai politik. Ini bentuk kepedulian agar sistem perwakilan kita berbenah,” kata Ikhsan, dikutip dari laman resmi MK, Selasa (18/11/2025).

Masalah Utama: Ketika Rakyat Hanya Dipakai Saat Pemilu

Pasal yang diuji para pemohon menetapkan bahwa pemberhentian antarwaktu anggota DPR hanya bisa dilakukan bila diusulkan oleh partai politik. Inilah yang mereka nilai sebagai akar persoalan.

Dalam praktiknya, partai politik bisa mencabut mandat anggota DPR tanpa alasan jelas—bahkan kadang karena konflik internal atau sikap politik yang tak disukai elite partai. Namun ketika rakyat menginginkan wakilnya dicopot karena tak lagi bekerja, tak responsif, atau mengingkari janji kampanye, suara pemilih justru tidak punya ruang apa pun dalam mekanisme hukum.

Para mahasiswa menilai kondisi ini menciptakan ironi demokrasi: rakyat memilih, tapi tidak bisa mengontrol.

Mereka menyebut pemilu akhirnya hanya menjadi ritual prosedural—sekali lima tahun—tanpa ada mekanisme koreksi jika seorang anggota DPR berubah haluan, gagal bekerja, atau bahkan tersangkut masalah moral dan hukum.

Setelah duduk di kursi empuk parlemen, menurut mereka, wakil rakyat sering kali lebih tunduk kepada arahan partai ketimbang mandat konstituen. Rakyat kehilangan daya tawar.

Kerugian Konstitusional: Ketika Wakil Tak Lagi Mewakili

Para pemohon menyatakan mereka mengalami kerugian konstitusional yang nyata. Kerugian itu muncul karena sebagai pemilih, mereka tidak dapat memastikan wakilnya benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat.

Jika wakil rakyat tidak mampu menjalankan janji kampanye atau justru menunjukkan perilaku menyimpang, pemilih tidak punya akses untuk mengajukan pemberhentian. Sementara partai politik sering menggunakan hak itu dengan motif yang jauh dari kepentingan publik.

Menurut mereka, kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip:

  • Kedaulatan rakyat
  • Partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan
  • Persamaan di hadapan hukum

Demokrasi elektoral, kata mereka, tak boleh berhenti pada kotak suara.

Usulan Radikal: Berikan Hak Memberhentikan kepada Rakyat

Dalam petitum permohonannya, para mahasiswa meminta MK menafsirkan ulang Pasal 239 ayat (2) huruf d. Mereka mengusulkan perubahan signifikan:

“Diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Jika dikabulkan, perubahan ini dapat mengubah lanskap politik Indonesia secara fundamental. Untuk pertama kalinya, rakyat bisa memiliki mekanisme hukum untuk menarik mandat dari anggota DPR yang dianggap gagal, melanggar etika, atau mengkhianati kepentingan publik.

Gugatan ini teregister dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025. MK telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pertama pada 4 November 2025, dan sidang lanjutan pada 17 November 2025 untuk memperbaiki permohonan.

Tarik Ulur Kekuasaan: Akankah MK Membuka Pintu “Recall oleh Rakyat”?

Gugatan ini bisa menjadi titik balik penting dalam demokrasi Indonesia. Jika MK mengabulkan permohonan tersebut, kontrol rakyat terhadap parlemen akan lebih kuat dari sebelumnya sebuah langkah yang selama ini hanya menjadi wacana.

Namun tantangannya besar. Perubahan ini akan menyentuh jantung kekuasaan partai politik, yang selama ini memegang kendali penuh atas karier anggota legislatif.

Akankah MK mengambil langkah berani untuk memberi hak “recall” kepada rakyat? Ataukah gugatan ini akan kandas seperti banyak upaya reformasi politik sebelumnya?

Apapun hasilnya, gugatan para mahasiswa ini telah membuka kembali diskusi fundamental: demokrasi bukan sekadar memilih, tetapi juga mengawasi dan mengoreksi. Dan mungkin, inilah momentum bagi rakyat untuk kembali menjadi pemegang kedaulatan sesungguhnya.

(T)

#UUMD3 #Nasional #DPR #Parlemen