Breaking News

Komnas HAM: Negara Masih Berutang Keadilan bagi Marsinah, Pahlawan yang Gugur demi Hak Buruh

Puluhan buruh wanita saat menggelar aksi memperingati 22 tahun tanpa keadilan "Malam Marah Marsinah”, Jakarta, Jumat (8/5/2015). Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut pelanggaran HAM terhadap Marsinah

D'On, Jakarta
- Tiga dekade lebih berlalu sejak tubuh Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk di Nganjuk, Jawa Timur, namun luka sejarah itu belum benar-benar sembuh. Di tengah gemuruh tepuk tangan saat Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah pada 10 November 2025, masih ada ruang kosong yang belum terisi: keadilan yang tak kunjung datang.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa di balik penghormatan negara, masih tersisa utang besar yang belum dibayar: hak Marsinah atas kebenaran dan keadilan.
“Ketika gelar pahlawan diberikan, hak atas keadilan dan kebenaran atas kasusnya sendiri itu sebenarnya masih ada, belum dipenuhi,” ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, di Jakarta, Rabu (12/11/2025).

Paradoks Pengakuan: Diberi Gelar Pahlawan, Tapi Kasusnya Belum Tuntas

Menurut Anis, pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah memang merupakan bentuk pengakuan negara terhadap perjuangan dan pengorbanannya bagi hak-hak buruh. Namun, di sisi lain, pengakuan itu terasa paradoksal jika keadilan atas kematiannya belum ditegakkan.
“Negara masih punya utang hak atas keadilan bagi Marsinah yang dibunuh saat memperjuangkan haknya dan hak-hak pekerja. Itu belum diselesaikan, belum diusut secara tuntas,” tegas Anis.

Ia menilai, penghargaan semacam ini seharusnya bukan menjadi penutup, melainkan awal dari tanggung jawab moral negara untuk menelusuri kembali kebenaran yang terkubur bersama jasad Marsinah di tahun 1993. “Saya kira ini paradoks, orangnya diberikan gelar, tetapi kasusnya sendiri belum selesai,” imbuhnya.

Lebih jauh, Anis menjelaskan bahwa secara hukum, kematian Marsinah dikategorikan sebagai kasus pidana murni, bukan pelanggaran HAM berat. Karena itu, pengusutannya memiliki batas waktu atau kedaluwarsa hukum.
“Kalau itu pidana, ada masa kedaluwarsa. Tapi kalau pelanggaran HAM berat, tidak mengandung kedaluwarsa. Peristiwa Marsinah ini masuk pidana, sehingga ada keterbatasan waktu,” terangnya.

Dengan status hukum seperti itu, peluang pengusutan ulang menjadi semakin sempit, sementara publik masih haus akan kejelasan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan pembunuhan terhadap Marsinah.

Kemenham: Bukan Kewenangan Kami, Tapi Negara Tetap Punya Tanggung Jawab Moral

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menegaskan bahwa penuntasan kasus kematian Marsinah bukanlah kewenangan Kementerian HAM. “Apakah Kementerian HAM bisa menuntaskan keadilan? Itu tidak tepat. Yang lebih tepat sebenarnya Komnas HAM atau institusi kepolisian,” kata Pigai di Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Ia menjelaskan, kementeriannya berada di ranah eksekutif dan tidak memiliki kewenangan yudikatif untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan. Meski demikian, Pigai menegaskan bahwa pemerintah tidak akan berpaling dari tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan kebenaran bagi Marsinah dan keluarganya.

“Memberikan penghargaan kepada Marsinah oleh negara, maupun keluarga memperjuangkan sebuah keadilan, pengungkapan fakta, data, peristiwa  adalah posisinya sama dan tidak boleh dipertentangkan,” ujarnya tegas.

Perjuangan yang Tak Pernah Padam: Marsinah, Buruh yang Melawan Ketidakadilan

Nama Marsinah mungkin kini diabadikan dalam sejarah, tetapi pada tahun 1993, ia hanyalah seorang buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur.
Namun di balik sosok sederhana itu, tersimpan keberanian luar biasa. Ia memimpin aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah sesuai keputusan pemerintah  sebuah langkah yang pada masa Orde Baru dianggap menantang kekuasaan.

Pada 5 Mei 1993, Marsinah terakhir kali terlihat menuju Kodim Sidoarjo, berupaya mencari rekan-rekannya yang ditahan setelah aksi mogok tersebut. Tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, tubuhnya ditemukan di sebuah gubuk di tepi sawah di wilayah Nganjuk. Tubuhnya penuh luka  tanda penyiksaan brutal dan kekerasan seksual.

Kematian Marsinah mengguncang bangsa. Ia bukan sekadar korban, melainkan simbol perlawanan terhadap represi buruh dan ketidakadilan negara. Namun hingga kini, siapa yang sebenarnya membunuhnya masih menjadi misteri yang belum terungkap tuntas.

Kasus ini menjadi potret kelam dari masa lalu Indonesia, di mana suara keadilan kerap dibungkam oleh kekuasaan.

Nama Marsinah Diabadikan di Kementerian HAM

Sebagai bentuk penghormatan negara, Menteri HAM Natalius Pigai mengabadikan nama Marsinah sebagai nama ruang pelayanan HAM di kantor Kementerian HAM, Jakarta.
“Marsinah adalah wajah keberanian dalam memperjuangkan martabat manusia. Penamaan ini adalah wujud penghormatan kami kepada perjuangannya yang menjadi bagian penting dari sejarah HAM Indonesia,” ujar Pigai, Senin (10/11/2025).

Ruang yang dinamai “Ruang Marsinah” ini berlokasi di lantai 1 Gedung K.H. Abdurrahman Wahid dan akan difungsikan sebagai pusat pelayanan publik bidang HAM.
Penamaan ini, menurut Pigai, bukan sekadar seremoni, tetapi pengingat abadi bagi seluruh aparat negara agar menjunjung tinggi perlindungan dan pelayanan tanpa diskriminasi.

“Semangat Marsinah adalah semangat kemanusiaan. Dengan menamai ruangan ini sebagai ‘Ruang Marsinah’, kami ingin memastikan bahwa dedikasi dan pengorbanannya tidak hilang ditelan waktu,” tegas Pigai.

Sebuah Peringatan untuk Negara

Tiga puluh dua tahun setelah tragedi itu, Marsinah akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional. Namun pengakuan tanpa keadilan, bagi banyak pihak, hanyalah penghormatan yang timpang.

Komnas HAM mengingatkan bahwa penghormatan sejati terhadap pahlawan tidak berhenti pada pemberian gelar, melainkan diwujudkan dengan keberanian untuk membuka kembali lembaran gelap sejarah dan menuntaskan kebenaran yang tertunda.

Marsinah mungkin telah tiada, tetapi suara perjuangannya tetap hidup bergema di pabrik-pabrik, di ruang sidang, di jalanan, dan kini di ruang pelayanan HAM yang menyandang namanya.

Negara boleh saja menamai ruangannya “Ruang Marsinah”, tetapi utang keadilan kepada perempuan buruh yang berani menantang ketidakadilan itu masih belum lunas.

(L6)

#Marsinah #KomnasHAM #Nasional