Breaking News

Gerah, Baru Terkumpul Rp 8 Triliun dari Utang Pajak, Menkeu Purbaya Siap Kirim “Surat Cinta” ke Para Penunggak

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.

D'On, Jakarta
- Di tengah berbagai upaya pemerintah menutup celah penerimaan negara, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan sebuah fakta yang membuat banyak pihak mengernyit: dari total utang pajak sebesar Rp 50–60 triliun, pemerintah baru mampu mengumpulkan Rp 8 triliun. Angka ini masih jauh dari target, dan yang lebih mengherankan, utang tersebut hanya berasal dari sekitar 200 wajib pajak saja.

Ya, hanya 200 orang atau entitas yang memegang kunci puluhan triliun rupiah penerimaan negara. Sebagian sudah mulai mencicil, sebagian lain masih “dikejar”, dan sebagian tampaknya masih berharap bisa lolos dari radar fiskus.

“Target kita Rp 50 triliun. Tapi enggak bisa langsung. Ada yang mau nyicil, ada yang prosesnya masih panjang. Sampai sekarang baru terkoleksi Rp 8 triliun,” ujar Purbaya dalam Media Briefing Kemenkeu, Minggu (16/11/2025).

Pernyataan itu mengandung dua makna: optimisme bahwa proses penagihan berjalan, namun juga kegemasan karena langkahnya begitu lambat.

Penagihan Bertahap, Karena Tidak Semua Wajib Pajak Bisa ‘Ditodong’ Sekaligus

Purbaya menjelaskan bahwa penarikan paksa bukan pilihan utama. Setiap wajib pajak berada dalam kondisi finansial berbeda, dengan skema pembayaran yang tidak seragam. Ada yang bersedia mencicil, ada yang masih menyusun administrasi, dan ada pula yang membutuhkan pendekatan khusus.

Namun, satu hal yang ia tegaskan: tidak ada yang bisa main-main dengan Kemenkeu.

“Sebagian masih mau bayar cicilan, sebagian lagi masih dikejar. Target Rp 50 triliun itu bakal kita kejar pelan-pelan. Baru Rp 8 triliun sekarang. Target Rp 20 triliun di 2025 kemungkinan besar tertagih. Mereka jangan main-main sama kita!” tegasnya.

Ungkapan itu menjadi sinyal bahwa pemerintah bersiap menggunakan langkah yang lebih tegas, tetapi tetap dalam koridor hukum dan prosedur administrasi yang benar.

Menjaga Defisit APBN Tetap Aman di Tengah Kebutuhan Belanja

Di sisi lain, pemerintah juga menghadapi pekerjaan rumah yang tak kalah besar: menjaga defisit APBN 2025 agar tetap berada di bawah batas maksimal 3 persen dari PDB. Defisit yang terkendali menjadi fondasi stabilitas fiskal, terutama di tengah tingginya kebutuhan pembiayaan negara, mulai dari infrastruktur hingga program perlindungan sosial.

Dalam konteks ini, setiap rupiah penerimaan pajak menjadi sangat berarti.

Itulah mengapa penagihan pajak yang macet menjadi prioritas. Purbaya ingin memastikan celah penerimaan tidak dibiarkan menganga ketika negara sedang membutuhkan dana untuk menjalankan program pembangunan.

“Surat Cinta” untuk Para Penunggak Pajak

Salah satu strategi yang akan ditempuh pemerintah adalah pendekatan langsung ke para pengusaha yang masih menunggak pajak. Bukan dengan cara preman, bukan dengan mengetuk pintu rumah jam lima pagi, melainkan dengan metode yang halus… namun tegas.

“Kita akan approach, kita datangi supaya mereka bayar tepat waktu. Ada beberapa ratus pengusaha yang belum bayar pajak tepat waktu, kita akan kirim surat cinta ke mereka,” kata Purbaya.

Istilah “surat cinta” itu sebenarnya merujuk pada pemberitahuan resmi dari otoritas pajak perpaduan antara imbauan, peringatan, dan permintaan klarifikasi. Di balik kata yang terdengar romantis itu, ada pesan serius: bayar atau diperiksa lebih dalam.

Ada Kementerian/Lembaga ‘Menyerah’, Anggaran Triliunan Kembali ke Kas Negara

Tidak hanya dari sektor pajak, Kemenkeu juga mencatat kejadian menarik di tubuh pemerintahan sendiri. Sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) ternyata memilih mengembalikan anggaran yang tidak mampu mereka serap.

Totalnya mencapai Rp 3,5 triliun.

“Ada beberapa yang sudah nyerah mengembalikan uang. Kita hitung ada Rp 3,5 triliun yang dibalikin karena mereka nggak mampu belanjain,” jelas Purbaya.

Dalam dunia birokrasi, pengembalian anggaran bukan hanya soal administrasi. Itu adalah tanda bahwa program yang direncanakan tidak berjalan, baik karena perencanaan kurang matang, proses pengadaan tersendat, atau faktor internal lainnya.

Dengan kata lain, beberapa K/L telah mengibarkan bendera putih sebelum tahun anggaran usai.

Pemerintah Berada pada Persimpangan: Mengejar Penerimaan, Mengendalikan Belanja

Kondisi keuangan negara tahun 2025 mencerminkan dua dinamika yang berjalan bersamaan:

  1. Penerimaan negara yang harus digenjot, terutama dari pajak yang selama ini menjadi tulang punggung APBN.
  2. Belanja negara yang harus efisien, tanpa kebocoran dan tanpa menyisakan anggaran menganggur.

Dalam situasi tersebut, utang pajak Rp 50–60 triliun adalah “tambang emas” yang wajib digali. Karena itu, pemerintah tidak segan memperketat penagihan, mengirim surat cinta, dan melakukan pendekatan intensif agar para penunggak memenuhi kewajiban mereka.

Dan jika semua berjalan sesuai harapan, tahun 2025 dapat ditutup dengan penerimaan yang lebih baik, defisit yang terkendali, serta APBN yang lebih sehat.

(L6)

#Pajak #Nasional #PurbayaYudhiSadewa