Breaking News

Pemerintah Bongkar Dugaan Monopoli Data hingga Monetisasi Aktivitas Mencurigakan, Izin TikTok Dibekukan Sementara?

Ilustrasi TikTok. (AFP/Drew Angerer)

D'On, Jakarta
- TikTok, aplikasi asal Tiongkok yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital masyarakat Indonesia, kini menghadapi masalah serius. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) resmi membekukan sementara izin operasional TikTok. Keputusan ini bukan sekadar formalitas, melainkan sinyal keras bahwa pemerintah tidak lagi mau memberi toleransi pada platform digital raksasa yang dianggap mengabaikan hukum nasional.

Langkah tegas ini langsung memicu perdebatan. Sebagian pihak menilai pemerintah bertindak berani untuk menegakkan kedaulatan digital, sementara sebagian lain khawatir pembekuan TikTok dapat melumpuhkan ekosistem UMKM yang selama ini menggantungkan hidup di platform tersebut.

Alasan di Balik Pembekuan TikTok

Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemenkomdigi, Alexander Sabar, pembekuan dilakukan setelah TikTok menolak memberikan data lengkap terkait aktivitas live streaming selama periode unjuk rasa 25–30 Agustus 2025.

“Pemerintah meminta data menyeluruh tentang traffic, aktivitas siaran langsung, serta aliran monetisasi — termasuk jumlah dan nilai gift yang diterima oleh kreator. Tetapi, TikTok hanya menyerahkan data parsial. Ini jelas tidak bisa diterima,” tegas Alexander dalam keterangan pers, Jumat (3/10/2025).

Kecurigaan pemerintah bukan tanpa alasan. Dari hasil pemantauan, diduga terdapat praktik monetisasi siaran langsung yang terkait dengan akun-akun berafiliasi pada aktivitas perjudian online. Ini menjadi titik krusial mengingat perjudian digital selama ini menjadi salah satu penyakit laten dunia maya Indonesia.

Pemerintah sebenarnya telah memberi ruang klarifikasi. TikTok dipanggil untuk hadir pada 16 September 2025 dan diberi waktu hingga 23 September 2025 untuk menyerahkan data. Namun, lewat surat resmi bernomor ID/PP/04/IX/2025, TikTok menolak dengan alasan “kebijakan internal perusahaan” yang membatasi pemberian akses data.

“Bagi kami, alasan itu tidak relevan. Platform yang beroperasi di Indonesia wajib tunduk pada hukum Indonesia. Tidak ada kompromi,” ujar Alexander.

Payung Hukum: Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020

Dasar langkah pemerintah merujuk pada Pasal 21 ayat (1) Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, yang secara tegas menyatakan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap sistem elektronik maupun data kepada pemerintah dalam rangka pengawasan.

Artinya, TikTok dianggap melanggar kewajiban fundamental sebagai PSE Privat. Akibatnya, pemerintah menjatuhkan sanksi pembekuan Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE).

Menurut Alexander, langkah ini tidak sekadar administratif, tetapi menyangkut perlindungan masyarakat dari potensi penyalahgunaan teknologi digital.

“Kami bicara soal kedaulatan hukum dan keamanan nasional. Jika sebuah platform global bisa semaunya sendiri, itu artinya ruang digital kita sedang dijajah,” kata Alexander dengan nada tegas.

Perlindungan Anak, Remaja, dan Kelompok Rentan

Kemenkomdigi menekankan bahwa tindakan ini juga menyasar perlindungan pengguna, terutama anak dan remaja, yang merupakan pengguna terbesar TikTok di Indonesia.

Fitur-fitur interaktif seperti live streaming dan gift digital dianggap rawan dimanfaatkan untuk eksploitasi ekonomi, bahkan untuk mengelabui anak-anak agar ikut dalam transaksi ilegal.

“Ini bukan sekadar menertibkan data, tapi soal masa depan generasi muda kita. Pemerintah tidak akan membiarkan ruang digital Indonesia dikotori praktik perjudian terselubung,” ucap Alexander.

DPR Ingatkan Jangan Bunuh Ekosistem UMKM

Sikap tegas pemerintah mendapat dukungan, namun juga memunculkan kekhawatiran. DPR RI melalui Wakil Komisi I, Dave Laksono, menegaskan bahwa meski aturan harus ditegakkan, pemerintah tidak boleh abai pada dampak ekonominya.

“Jutaan UMKM di Indonesia menjadikan TikTok sebagai etalase digital mereka. Fitur TikTok Shop dan live commerce terbukti membuka akses pasar yang lebih luas. Jangan sampai penegakan hukum malah mematikan produktivitas,” kata Dave di Jakarta.

Meski begitu, Dave menegaskan bahwa kepatuhan hukum adalah harga mati. Platform global, sekuat apapun, tidak boleh bertindak seolah kebal hukum di Indonesia.

“Ketidakpatuhan terhadap permintaan data dalam konteks dugaan pelanggaran hukum adalah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan digital Indonesia. TikTok harus kooperatif, jika tidak, konsekuensinya akan lebih berat,” tegasnya.

Antara Kedaulatan Digital dan Ketergantungan Ekonomi

Kasus ini membuka diskursus besar: Apakah Indonesia siap menghadapi risiko ekonomi akibat ketegasan hukum terhadap raksasa digital?

Di satu sisi, pembekuan izin TikTok memberi pesan kuat bahwa pemerintah tidak takut menghadapi perusahaan global. Di sisi lain, jutaan pelaku UMKM kini menunggu dengan cemas, karena sebagian besar omzet mereka bersumber dari interaksi di platform tersebut.

Pemerintah berjanji langkah ini bersifat sementara, sambil menunggu TikTok menunjukkan sikap kooperatif. Namun, jika TikTok tetap menutup akses data, ancaman sanksi permanen bisa saja diberlakukan.

Sinyal Keras untuk Semua Platform Digital

Kasus TikTok bukan sekadar urusan satu aplikasi. Ini adalah peringatan keras bagi seluruh PSE  baik lokal maupun asing  agar benar-benar patuh terhadap hukum Indonesia.

Pemerintah ingin memastikan bahwa transformasi digital Indonesia berjalan sehat, aman, adil, dan transparan. Bukan sekadar menguntungkan segelintir pihak, tetapi memberi manfaat luas tanpa mengorbankan keamanan pengguna.

“Pesan kami jelas: Indonesia bukan pasar bebas tanpa aturan. Semua platform harus bertanggung jawab, atau siap menghadapi konsekuensinya,” tutup Alexander.

(B1)

#TikTok #Aplikasi #Nasional #TikTokDibekukan