Breaking News

KontraS: Budaya Maskulinitas Jadi Pemicu Femisida oleh Prajurit TNI

Peneliti Divisi Riset KontraS, Windy Koesherawati dalam konferensi pers peluncuran Catatan Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan dan Menguatnya Militerisme yang disiarkan melalui YouTube pada Jumat (3/10/2025). (Tangkapan Layar/YouTube/KontraS)

D'On, Jakarta
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menyoroti wajah gelap kekerasan berbasis gender di tubuh militer Indonesia. Dalam laporan terbarunya yang dirilis Jumat (3/10/2025), lembaga advokasi ini mengungkap adanya tren femisida yang dilakukan oleh prajurit TNI sepanjang periode Oktober 2024 hingga September 2025.

Fenomena tersebut, menurut KontraS, bukan sekadar tindak kriminal biasa. Ia merefleksikan persoalan struktural dalam tubuh militer budaya maskulinitas yang ditanamkan sejak masa pendidikan, relasi kuasa yang timpang, serta cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai subordinat.

Femisida: Bukan Sekadar Kriminal, tapi Kekerasan Berbasis Gender

Peneliti Divisi Riset KontraS, Windy Koesherawati, menegaskan bahwa femisida harus dipahami lebih jauh dari sekadar “kasus pembunuhan.”

“Femisida adalah pembunuhan yang menyasar perempuan karena identitas gendernya. Ia lahir dari kultur yang menormalisasi maskulinitas, menempatkan sifat keras sebagai keunggulan, sementara sifat lembut, afektif, dan feminin dianggap lemah atau inferior,” jelas Windy dalam konferensi pers Catatan Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan dan Menguatnya Militerisme, yang disiarkan melalui kanal YouTube KontraS.

Menurutnya, pendidikan militer justru memperkuat stereotip tersebut. Prajurit dididik untuk tangguh, keras, dan berani. Sebaliknya, karakter feminin yang diasosiasikan dengan kelembutan dan empati dianggap tidak relevan, bahkan rendah.

“Maskulinitas inilah yang berpotensi menciptakan ketidakadilan berbasis gender, karena dalam praktiknya ia melahirkan relasi kuasa yang timpang,” tambahnya.

Kasus Ellis: Dibunuh Karena Ponsel Habis Baterai

Windy mencontohkan kasus Ellis, seorang perempuan di Papua yang menjadi korban femisida pada Desember 2024. Suaminya, Serka Marius Bernadus Mabur—anggota TNI AU—membunuh Ellis hanya karena masalah sepele: sang istri tidak mengisi daya ponselnya yang tinggal 9 persen.

Namun cara pembunuhan itu jauh dari kata “sepele.” Ellis terlebih dahulu diselimuti, dipukul dengan palu, lalu dibakar hidup-hidup di depan anak mereka sendiri. Tragedi ini bukan hanya merenggut nyawa seorang perempuan, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi anak yang menyaksikannya.

“Kasus Ellis adalah bukti nyata bagaimana femisida dilakukan dengan cara brutal, kejam, dan tidak manusiawi. Ia lahir dari relasi kuasa yang timpang dan legitimasi maskulinitas dalam tubuh militer,” ujar Windy.

Kasus Juwita: Jurnalis Muda yang Jadi Korban

Tak hanya di Papua, femisida juga terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Maret 2025. Seorang jurnalis muda bernama Juwita ditemukan tewas dengan luka-luka yang mengindikasikan adanya kekerasan seksual sebelum pembunuhan. Pelakunya? Pasangan yang juga berasal dari kalangan militer.

Kematian Juwita mengguncang dunia pers. Rekan-rekannya menilai, kasus ini menunjukkan betapa rentannya perempuan ketika berhadapan dengan pasangan yang berlatar militer, yang sering kali memiliki akses pada kekuasaan, senjata, serta lingkungan yang membenarkan kekerasan.

Data KontraS: Femisida Bukan Kasus Terisolasi

KontraS mencatat, dalam kurun waktu satu tahun terakhir, setidaknya ada lima kasus femisida yang melibatkan prajurit TNI. Motifnya kerap dianggap sepele, namun cara pembunuhannya luar biasa brutal—mulai dari pemukulan, pembakaran, hingga kekerasan seksual.

Lebih jauh, fenomena ini tidak berdiri sendiri. KontraS menemukan sedikitnya tiga bentuk intimidasi, enam kasus kejahatan seksual, serta tujuh penganiayaan oleh anggota TNI terhadap perempuan dalam periode yang sama.

“Sebagian besar kasus memang berada di ranah domestik, tapi itu tidak membuat femisida ini bisa dianggap persoalan pribadi. Justru ini alarm berbahaya, karena menunjukkan pola kekerasan yang berulang, sistematis, dan lahir dari kultur institusi,” kata Windy.

Impunitas dan Budaya Patriarki di Tubuh Militer

Menurut KontraS, maskulinitas yang dilekatkan pada prajurit TNI semakin memperburuk praktik impunitas. Tanpa pengawasan ketat, sanksi tegas, dan pembenahan kultur, perempuan akan terus berada dalam ancaman.

“Patriarki dan maskulinitas ini membentuk prajurit yang merasa memiliki kontrol atas tubuh perempuan. Mereka tumbuh dalam sistem yang membiarkan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Selama itu tidak diubah, femisida akan terus berulang,” pungkas Windy.

Alarm untuk Reformasi Sektor Keamanan

Kasus-kasus femisida ini, menurut KontraS, harus dibaca sebagai kegagalan reformasi sektor keamanan. Lembaga militer yang seharusnya menjamin perlindungan warga justru melahirkan prajurit yang sebagian menggunakan kekerasan terhadap perempuan sebagai “jalan pintas.”

Fenomena ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga sinyal krisis dalam institusi militer yang belum sepenuhnya lepas dari kultur kekerasan, maskulinitas beracun, dan impunitas.

Catatan Redaksi:
Femisida adalah bentuk kekerasan paling ekstrem terhadap perempuan, dan ketika pelakunya berasal dari institusi negara, publik berhak menuntut transparansi, akuntabilitas, dan reformasi serius.

(T)

#Femisida #TNI #Militer #Kontras