Breaking News

Densus 88 Tangkap Empat Terduga Teroris Pendukung ISIS di Sumbar dan Sumut: Jejak Digital dan Ancaman Senyap dari Dunia Maya

Densus 88 menangkap terduga teroris (Foto: Ilustrasi

D'On, Padang -
 Sebuah operasi senyap kembali dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Di tengah rutinitas masyarakat yang tampak tenang di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, tim elite antiteror itu ternyata telah mengintai selama berbulan-bulan. Hasilnya, empat orang terduga teroris yang diduga kuat menjadi simpatisan dan pendukung jaringan teroris internasional ISIS akhirnya ditangkap.

Keempatnya, berinisial RW, KM, AY, dan RR, diamankan di lokasi berbeda dalam sebuah rangkaian operasi simultan yang dilakukan secara terkoordinasi di dua provinsi tersebut. Mereka diketahui merupakan bagian dari kelompok Ansharut Daulah (AD)  sebuah jaringan yang dikenal sebagai perpanjangan tangan ISIS di Indonesia.

“Mereka aktif menyebarkan propaganda dan provokasi untuk mendukung Daulah Islamiyah atau ISIS melalui media sosial,” ungkap AKBP Mayndra E. Wardhana, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Densus 88 Antiteror Polri, dalam keterangan resminya, Selasa (7/10/2025).

Propaganda Radikal di Dunia Maya

Menurut hasil penyelidikan, para pelaku tidak bergerak secara fisik seperti teroris konvensional. Aksi mereka beroperasi melalui ruang digital. Dengan kemampuan mengelola akun media sosial anonim, mereka membuat, mengedit, dan menyebarkan konten-konten yang secara halus maupun terang-terangan menggaungkan ideologi ISIS.

Beberapa di antara mereka bahkan diketahui mengelola grup tertutup di platform tertentu, tempat di mana ajaran kekerasan dan narasi jihad ekstrem disebarkan ke anggota baru, termasuk generasi muda.

“Metode ini sangat berbahaya. Mereka beroperasi di balik layar, memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperluas jangkauan propaganda,” jelas seorang sumber dari lingkungan aparat keamanan yang enggan disebutkan namanya.

Dari Simpatisan ke Propagandis

Keempat terduga pelaku disebut memiliki peran berbeda. Ada yang bertugas sebagai pembuat konten (content creator), ada pula yang berperan sebagai penyebar (distributor) dan perekrut ideologis.

Densus 88 menduga bahwa RW merupakan sosok paling aktif dalam membuat narasi-narasi provokatif. Ia memanfaatkan isu sosial dan keagamaan untuk menarik simpati. Sementara KM dan AY dikenal sebagai “penyebar cepat”, yang menggandakan dan menyalurkan pesan ke berbagai kanal, termasuk forum daring dan grup tertutup. RR, di sisi lain, bertugas menghubungkan jaringan dengan simpatisan baru yang direkrut secara daring.

Dari tangan mereka, Densus 88 menyita sejumlah barang bukti digital, termasuk laptop, ponsel, serta akun-akun media sosial yang berisi konten dukungan terhadap ISIS dan materi propaganda jihad.

Ancaman yang Tak Kasatmata

Penangkapan ini menjadi pengingat keras bahwa radikalisasi tak lagi berwujud pertemuan rahasia di tempat terpencil, melainkan sudah merambah ke ruang paling pribadi: layar ponsel dan komputer masyarakat.

Densus 88 menegaskan bahwa proses perekrutan ekstremis kini lebih banyak terjadi secara daring. Konten-konten video, gambar, hingga ceramah digital dengan narasi manipulatif menjadi pintu masuk ideologi kekerasan.

“Radikalisasi melalui media sosial masih sangat masif dan dapat memengaruhi siapa saja, terutama kalangan muda,” tegas AKBP Mayndra.

Ia menambahkan, masyarakat kini perlu lebih cermat menilai setiap informasi yang diterima, terutama konten bernuansa keagamaan yang memprovokasi kebencian terhadap pihak lain.

Peringatan bagi Masyarakat

Densus 88 mengimbau masyarakat agar lebih waspada terhadap setiap bentuk provokasi, ajakan kekerasan, atau pesan yang mencurigakan di media sosial.
Masyarakat juga diingatkan untuk lebih aktif mengawasi lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan anak-anak, agar tidak menjadi sasaran penyebaran ideologi ekstrem.

Bagi Densus 88, operasi ini bukan sekadar penangkapan, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk memutus rantai penyebaran paham radikal yang kini menyelinap melalui algoritma dunia digital.

“Keamanan nasional tidak hanya dijaga di lapangan, tapi juga di ruang maya. Setiap warga punya peran untuk mencegah penyebaran ideologi kebencian,” tutup Mayndra.

Fenomena Baru Terorisme Digital

Kasus ini memperlihatkan transformasi besar dalam lanskap terorisme modern. Dulu, aksi teror identik dengan ledakan dan kekerasan fisik. Kini, ancamannya lebih senyap tapi tidak kalah berbahaya  infiltrasi ideologi ekstrem melalui jaringan sosial, grup perpesanan, hingga konten-konten digital yang tampak “biasa” namun sarat manipulasi.

Bagi aparat keamanan, medan perang kini telah berpindah: dari hutan dan persembunyian fisik ke jaringan internet yang tanpa batas.

(Okz)

#Teroris #ISIS #Densus88