Breaking News

Pokir, Fee, dan Modus Mark Up: Saat Aspirasi Warga Disulap Jadi Ladang Untung Anggota Dewan

(Dok: Novri)

D'On, Padang -  
Pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan sejatinya dirancang untuk menjadi jembatan penyalur aspirasi rakyat dalam pembangunan daerah. Namun di lapangan, konsep mulia itu sering kali berubah wajah: dari wadah partisipasi publik menjadi ladang subur bagi permainan proyek, fee, dan mark up yang merugikan masyarakat.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana “titipan proyek” diselubungi dalih aspirasi rakyat, tetapi dalam praktiknya justru menjadi ruang transaksi antara anggota DPRD, kontraktor, dan oknum dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Fee di Depan, Mutu Belakangan

Rekanan proyek kerap mengakui, sebelum pekerjaan dimulai, mereka sudah harus “menyetorkan” fee kepada anggota dewan pemilik Pokir. Praktik ini membuat proyek kehilangan ruh pembangunan sejak awal.

“Kalau sudah keluar fee, jangan harap pekerjaan bisa 100% sesuai spek. Belum lagi potongan PPN, PPh, sampai jatah orang dalam. Kalau ikuti aturan teknis, jangankan untung, modal pun bisa tekor,” ungkap seorang kontraktor yang enggan disebut namanya.

Alhasil, pekerjaan di lapangan penuh akal-akalan. Mutu dan kualitas dikorbankan. Yang penting proyek selesai, anggaran cair, keuntungan masuk kantong.

Modus Mark Up di Lapangan

Mark up dalam proyek Pokir dilakukan dengan berbagai cara. Semuanya bertujuan sama: mengurangi biaya material demi menjaga margin keuntungan setelah fee dipotong.

  1. Proyek Jalan Lingkungan

    • Coran readymix yang seharusnya setebal 12 cm, dikurangi menjadi hanya 6 cm dengan menimbun bagian tengah jalan menggunakan tanah atau material sisa.
    • Alas plastik untuk lantai cor hanya dipasang di pinggir, sementara bagian tengah dibiarkan kosong.
  2. Drainase dan Irigasi

    • Ketebalan pasangan batu (tapak, tengah, puncak) dimanipulasi. Lantai saluran air dikurangi ketebalannya dengan menyelipkan batu mangga atau bongkahan beton bekas.
    • Material sebagian diambil dari hasil galian atau bongkaran, bukan batu baru sesuai spek.
  3. Bangunan

    • Penggunaan besi non-SNI yang lebih murah.
    • Jarak begel kolom utama diperlenggang agar jumlah besi lebih sedikit.
    • Takaran adukan semen dikurangi, sehingga struktur bangunan rapuh.

“Kalau dikerjakan sesuai bestek, jangankan daging, tulang pun susah didapat,” keluh kontraktor lain.

Pokir: Niat Baik yang Menyimpang

Secara aturan, Pokir merupakan instrumen sah dalam proses pembangunan daerah. Pasal 178 Permendagri Nomor 84 Tahun 2017 menyebutkan, Pokir adalah hasil penyerapan aspirasi melalui reses DPRD dan rapat dengar pendapat, yang kemudian diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan daerah.

Di atas kertas, Pokir adalah mekanisme partisipasi rakyat. Namun di lapangan, pelaksanaannya sering menyimpang.

Menurut analisis Peter Otto Gusti Madung (Ekorantt.com, 25 Maret 2019), Pokir tidak lebih dari “penitipan proyek” anggota dewan. Proyek yang masuk lewat jalur Pokir sering kali sudah ditentukan siapa kontraktornya, bahkan sebelum dilelang atau ditunjuk secara resmi.

“Pokir dipoles seakan kerja nyata menampung aspirasi rakyat. Faktanya, ada kepentingan pribadi: fee proyek,” tegasnya.

KPK Ikut Mencium Bau Anomali

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah lama menaruh perhatian pada pola dana Pokir. Lembaga antirasuah itu menemukan indikasi anomali serius: Pokir tidak sekadar menyerap aspirasi, tetapi bertransformasi menjadi jalur “jualan proyek” oleh anggota dewan.

Bahkan, dalam beberapa kasus, proyek hasil Pokir sama sekali tidak diawasi. Setelah fee diterima, anggota DPRD bungkam. Pengawasan yang seharusnya menjadi tugas konstitusional mereka dibiarkan kosong.

Aspirasi Warga Jadi Komoditas Politik

Lebih parahnya lagi, Pokir sering dipoles seakan-akan proyek itu adalah hasil perjuangan pribadi anggota dewan. Di depan warga, mereka tampil bak “pahlawan pembangunan”. Padahal, uang yang dipakai bukan uang pribadi, melainkan APBD.

“Seakan-akan uang dewan. Padahal itu uang rakyat juga. Mereka hanya memposisikan diri sebagai perantara aspirasi, tapi mengambil keuntungan dari situ,” ujar seorang akademisi politik di Sumatera Barat.

Seharusnya, Bukan Fee Tapi Fungsi Pengawasan

Dalam sistem demokrasi, DPRD punya tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sayangnya, fungsi pengawasan sering ditinggalkan.

Idealnya, anggota DPRD yang menitipkan Pokir harus ikut mengawasi jalannya proyek:

  • Mulai dari perencanaan, memastikan sesuai kebutuhan warga.
  • Saat pelaksanaan, memantau kontraktor agar tidak main curang.
  • Saat evaluasi, memastikan hasil pembangunan bermanfaat dan berdaya guna.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: fee lebih penting daripada mutu. Aspirasi rakyat pun berubah menjadi komoditas politik sekaligus mesin pencetak cuan.

Pokir lahir dengan niat baik, tetapi di tangan yang salah, ia menjadi “sandi rahasia” anggota dewan untuk meraup keuntungan pribadi. Aspirasi rakyat disulap jadi transaksi. Fee lebih diutamakan daripada mutu. Pengawasan dilupakan, padahal itulah esensi kerja seorang wakil rakyat.

Pertanyaannya: sampai kapan rakyat harus terus membayar ongkos dari permainan proyek yang ujung-ujungnya rapuh, cepat rusak, dan tidak berdaya guna?

(Nov)

#FeeProyek #Korupsi #Padang