MK Kabulkan Gugatan UU Tapera: Pekerja Tidak Lagi Wajib Jadi Peserta
Ketua MK Suhartoyo,
D'On, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Putusan ini menandai perubahan besar dalam skema penyediaan rumah layak huni di Indonesia. Dengan putusan tersebut, kini pekerja tidak lagi diwajibkan menjadi peserta Tapera.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Senin (29/9).
Keputusan ini sekaligus menjadi jawaban atas keresahan yang selama ini muncul di kalangan pekerja. Mereka menilai program Tapera yang bersifat wajib lebih menyerupai pungutan memaksa ketimbang tabungan sukarela sebagaimana konsep awalnya.
Tapera Dianggap Pungutan Memaksa
Majelis hakim menilai bahwa Tapera telah menggeser makna tabungan dari yang semestinya bersifat sukarela menjadi kewajiban yang bersifat memaksa. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan semangat konstitusi.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa kewajiban negara dalam penyediaan rumah justru bergeser menjadi kewajiban rakyat untuk membayar iuran.
“Bertolak pada penjelasan tersebut, negara ditempatkan sebagai penanggung jawab utama penyediaan rumah layak huni bagi warganya. Namun, dengan adanya norma Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 justru tidak sejalan dengan tujuan dimaksud,” ujar Saldi.
Ia menambahkan, kewajiban setiap pekerja—termasuk pekerja mandiri dengan penghasilan setara upah minimum—untuk menjadi peserta Tapera menggeser peran negara sebagai penjamin menjadi sekadar pemungut iuran.
Menurut Saldi, norma tersebut bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara mengambil tanggung jawab penuh terhadap kelompok rentan. Justru sebaliknya, Tapera menambah beban baru yang bersifat memaksa bagi pekerja.
Prinsip Negara: Menjamin, Bukan Membebani
Saldi Isra juga menyinggung UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menegaskan peran negara sebagai penjamin hak warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak.
“UU 1/2011 secara eksplisit menyebutkan bahwa negara harus menjamin hak tersebut. Jadi, Tapera yang bersifat memaksa justru mengaburkan tanggung jawab negara dan menempatkannya di pundak rakyat sendiri,” kata Saldi.
Pekerja Dibebani Iuran Ganda
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti masalah lain yang muncul akibat Tapera: tumpang tindih dengan program jaminan sosial yang sudah ada.
Ia menjelaskan, pekerja saat ini sudah diwajibkan membayar iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2% dari gaji, sementara pemberi kerja menanggung 3,7%. Ketika Tapera diberlakukan, pekerja masih dibebani tambahan iuran: 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja.
“Akibatnya, pekerja dibebani iuran ganda. Kondisi inilah yang didalilkan Pemohon menimbulkan beban untuk memenuhi kehidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,” ujar Enny.
Menurutnya, kewajiban itu jelas mengurangi penghasilan riil pekerja yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang kian menekan.
Tidak Proporsional dan Diskriminatif
Enny juga menyoroti sifat kewajiban Tapera yang berlaku seragam bagi semua pekerja, tanpa melihat kondisi nyata mereka.
“Kewajiban seragam bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang sebenarnya sudah memiliki rumah atau masih mencicil rumah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional,” tegasnya.
Dalam petitum alternatif, Pemohon bahkan meminta agar kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 dimaknai menjadi “dapat”. Dengan demikian, pekerja yang ingin ikut Tapera tetap bisa berpartisipasi secara sukarela, tetapi mereka yang sudah memiliki rumah tidak lagi terbebani.
Putusan MK: Tonggak Baru Kebijakan Perumahan
Putusan ini menjadi tonggak penting dalam perdebatan panjang mengenai Tapera. Selama ini, pemerintah berdalih bahwa Tapera merupakan solusi jangka panjang untuk masalah backlog perumahan nasional. Namun di sisi lain, masyarakat menilai kebijakan itu lebih banyak membebani pekerja dengan iuran baru.
Kini, dengan Tapera yang tidak lagi bersifat wajib, bola kembali berada di tangan pemerintah. Negara dituntut untuk mencari skema baru dalam menjamin ketersediaan rumah layak huni, tanpa membebani pekerja dengan pungutan tambahan.
Ke depan, publik akan menanti bagaimana pemerintah merespons putusan MK ini: apakah akan merombak total skema Tapera atau menghadirkan kebijakan alternatif yang lebih berpihak pada pekerja.
(K)