Istana Kembalikan ID Card Wartawan CNN Indonesia: Permintaan Maaf dan Janji Tak Terulang
Yusuf Permana, Deputi Protokol Sekretariat Presiden Foto: Instagram/@Indonesiainsf
D'On, Jakarta — Suasana tegang di lingkungan Istana Merdeka mencair setelah pihak Sekretariat Presiden mengembalikan ID khusus Istana milik wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia. Pengembalian dilakukan langsung oleh Yusuf Permana, Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, usai pertemuan yang melibatkan Pemred CNN Indonesia Titin Rosmasari dan Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, pada Senin (29/9/2025).
Kejadian ini, yang sempat memicu perhatian publik dan keprihatinan mengenai praktik akreditasi serta kebebasan pers, berakhir dengan pengembalian kartu dan pernyataan permintaan maaf dari pihak Istana.
Kronologi singkat, tarik, pertemuan, kembalikan
Menurut penjelasan Yusuf, insiden berawal ketika petugas Biro Pers Media mengambil sebuah kartu yang ia tegaskan bukan merupakan kartu profesional pribadi wartawan Diana, melainkan ID khusus yang diberikan untuk tugas peliputan di area Istana. “Kami ingin menyampaikan bahwa ID yang diambil oleh teman-teman Biro Pers adalah ID khusus Istana. Jadi ID wartawan yang khusus bertugas di Istana,” ujar Yusuf.
Pengambilan itu memicu protes dari pihak redaksi CNN Indonesia. Pemred Titin Rosmasari datang ke Istana didampingi Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, dan Diana Valencia juga ikut hadir untuk menyelesaikan persoalan secara langsung. Setelah dialog antara pihak redaksi, Dewan Pers, dan perwakilan Istana, ID tersebut dikembalikan. Yusuf menegaskan proses pengembalian berlangsung terbuka dan disaksikan oleh Pemred Titin. “ID khusus Istana itu pun sekarang akan dikembalikan kepada yang bersangkutan, disaksikan oleh Pemred Bu Titin dan langsung kami serahkan ID Mba Diana,” kata Yusuf.
Permintaan maaf dan penyesalan resmi
Dalam pertemuan itu, Istana menyampaikan permohonan maaf atas insiden pengambilan ID dan memberi jaminan hal serupa tidak akan terulang. Yusuf menyampaikan, “Kami memastikan bahwa kejadian ini tidak akan terulang kembali. Jadi teman-teman yang bertugas di Istana, kita memahami tidak akan terulang lagi.”
Lebih lanjut, Yusuf menyebutkan bahwa Kepala Biro Pers Media telah menyatakan penyesalan atas tindakan menarik ID tersebut. Ia menekankan bahwa dalam pelaksanaan tugas, Biro Pers Media Setpres akan menjunjung asas keterbukaan dan kebebasan pers sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pernyataan ini menegaskan niat institusi untuk menempatkan prinsip kebebasan pers dan transparansi sebagai pedoman kerja.
Makna akreditasi: bukan sekadar kartu
Walau tampak sebagai peristiwa administratif, penarikan dan pengembalian ID ini menyentuh konsep yang lebih besar: akhiran akses, kepercayaan, dan kebebasan pers. ID khusus yang diberikan kepada wartawan untuk bertugas di Istana berfungsi bukan hanya sebagai alat identifikasi, melainkan juga sebagai simbol kepercayaan institusi terhadap peran media—baik dari sisi keamanan, protokol, maupun hak untuk meliput kegiatan kenegaraan.
Ketika proses pengambilan ID berlangsung tanpa komunikasi yang jelas, publik dan penggiat pers berhak mempertanyakan batasan kewenangan aparat protokol terhadap akreditasi media. Kehadiran Dewan Pers dan Pemred dalam penyelesaian menunjukkan bahwa masalah akses media seringkali memerlukan mediasi institusional agar hak-hak jurnalistik tidak terganggu.
Peran Dewan Pers: pengawasan sekaligus pengingat
Keterlibatan Totok Suryanto, Wakil Ketua Dewan Pers, memperlihatkan bahwa kasus ini dilihat sebagai isu yang relevan bagi pengawasan independen terhadap praktik pers nasional. Dewan Pers selama ini berperan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik dan memastikan kebebasan pers dapat dijalankan tanpa intimidasi atau pembatasan yang tidak berdasar. Kehadiran mereka di Istana menandakan dorongan untuk menyelesaikan persoalan secara cepat dan memastikan tidak ada pelanggaran prinsip-prinsip dasar pers.
Mengapa pembaca perlu mengamati hal ini?
Kasus pengambilan dan pengembalian ID di lingkungan Istana bukan sekadar urusan administratif internal: ia menjadi indikator bagaimana institusi negara menyeimbangkan kebutuhan keamanan/protokol dengan prinsip keterbukaan informasi publik. Media sebagai pilar keempat demokrasi memerlukan kepastian akses yang konsisten agar dapat menjalankan fungsi kontrol, edukasi, dan pemberitaan yang akurat.
Janji Istana untuk tidak mengulangi kejadian ini dan pengakuan penyesalan dari Kepala Biro Pers Media menjadi langkah awal yang positif. Namun, publik dan insan pers kemungkinan besar akan terus mengamati apakah pernyataan itu diikuti oleh perubahan prosedur yang konkret misalnya standar penanganan akreditasi, mekanisme klarifikasi internal, dan komunikasi proaktif saat terjadi sengketa akses.
Pengembalian ID khusus Istana kepada Diana Valencia pada 29 September menutup satu bab ketegangan singkat antara redaksi media dan bagian protokol Istana. Namun peristiwa ini menyisakan pelajaran penting: perlunya prosedur yang lebih jelas dan penghormatan bersama terhadap peran pers. Jika niat baik yang diucapkan hari ini diaplikasikan dalam kebijakan sehari-hari, insiden serupa bisa dihindari dan kepercayaan publik terhadap akses informasi kenegaraan akan tetap terjaga.
(Mond)