DPR Setop Tunjangan Rumah dan Moratorium Kunjungan Luar Negeri, Jawaban atas Desakan Publik
D'On, Jakarta – Setelah sekian lama menjadi sorotan publik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengambil langkah tegas yang jarang terjadi dalam sejarah parlemen Indonesia. Merespons derasnya kritik mahasiswa dan masyarakat, khususnya dalam aksi besar-besaran bertajuk “17+8”, DPR resmi memangkas sejumlah fasilitas mewah yang selama ini dinilai tidak sejalan dengan kondisi bangsa.
Keputusan ini diumumkan usai rapat konsultasi Pimpinan DPR bersama para ketua fraksi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2025). Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa langkah tersebut diambil bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk keseriusan parlemen dalam mendengar suara rakyat.
“DPR mendengar dan mencermati tuntutan yang disampaikan. Kita mengambil langkah konkret untuk menunjukkan komitmen memperbaiki tata kelola kelembagaan,” ujar Dasco di hadapan awak media.
Latar Belakang: Tekanan Publik dan Aksi Mahasiswa
Langkah DPR ini tidak lahir tiba-tiba. Dalam beberapa pekan terakhir, mahasiswa yang tergabung dalam gerakan “Aksi 17+8” gencar menyuarakan kritik keras terhadap perilaku elit politik. Salah satu tuntutan paling menonjol adalah pemangkasan fasilitas DPR yang dinilai berlebihan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian berat.
Gelombang aksi yang dilakukan di berbagai daerah ini menyoroti kontradiksi mencolok: rakyat berjuang menghadapi mahalnya harga kebutuhan pokok, sementara wakil rakyat menikmati tunjangan rumah, fasilitas transportasi, hingga perjalanan dinas ke luar negeri yang kerap dianggap hanya berbalut wisata politik.
Enam Keputusan Penting DPR
Rapat konsultasi DPR menghasilkan enam poin keputusan yang disebut sebagai tonggak awal reformasi internal parlemen:
-
Penghentian tunjangan perumahan anggota DPR mulai 31 Agustus 2025.
Selama ini, anggota DPR tetap menerima tunjangan meski telah menempati rumah dinas. Praktik ini memicu kritik luas sebagai bentuk “double fasilitas”. -
Moratorium kunjungan luar negeri berlaku sejak 1 September 2025.
Hanya undangan resmi bersifat kenegaraan yang menjadi pengecualian. Dengan ini, kunjungan studi banding yang kerap dikritik sebagai “jalan-jalan berlabel kerja” dipastikan berhenti. -
Pemangkasan fasilitas DPR lainnya.
Termasuk biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, hingga transportasi yang selama ini dikeluhkan publik sebagai pemborosan anggaran negara. -
Penghentian hak keuangan bagi anggota DPR yang dinonaktifkan partai.
Keputusan ini menutup celah praktik “gaji buta” yang selama ini terjadi ketika seorang legislator kehilangan legitimasi politik, namun masih menikmati fasilitas keuangan negara. -
Koordinasi Mahkamah Kehormatan DPR dengan Mahkamah Partai.
Penonaktifan anggota DPR ke depan akan diatur lebih jelas dan tegas, agar tidak menimbulkan dualisme atau tarik ulur kepentingan partai. -
Penguatan transparansi dan partisipasi publik dalam setiap proses legislasi dan kebijakan DPR.
Masyarakat dijanjikan ruang lebih luas untuk mengawasi, mengkritik, sekaligus memberi masukan dalam penyusunan regulasi.
Langkah Strategis atau Sekadar Panggung Politik?
Keputusan ini dipandang sebagian pihak sebagai langkah maju yang patut diapresiasi. Selama bertahun-tahun, DPR sering kali dituding sebagai lembaga yang resisten terhadap kritik. Kini, dengan adanya pemangkasan fasilitas dan moratorium perjalanan luar negeri, setidaknya muncul sinyal bahwa kritik publik benar-benar memberi dampak nyata.
Namun, di sisi lain, skeptisisme juga muncul. Beberapa pengamat politik menilai langkah ini berpotensi hanya menjadi strategi meredam gejolak mahasiswa, bukan perubahan fundamental. Tantangan terbesar DPR adalah konsistensi: apakah kebijakan ini akan benar-benar dijalankan secara disiplin atau berhenti sebagai wacana manis di awal?
Reaksi Mahasiswa dan Publik
Sejumlah elemen mahasiswa menyambut keputusan DPR ini dengan hati-hati. Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan hasil dari tekanan kolektif rakyat, sehingga pengawasan publik tetap harus diperkuat.
“Ini baru permulaan. Jangan sampai hanya dijadikan alat pencitraan. Kami akan terus mengawal,” tegas salah satu koordinator aksi 17+8.
Di media sosial, respons publik terbelah. Sebagian menyambut baik langkah DPR, sementara sebagian lainnya sinis, menyebut keputusan ini hanya “obral janji” yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan.
Jalan Panjang Reformasi Parlemen
Langkah DPR memangkas fasilitas dan menutup pintu wisata politik ke luar negeri menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, perjalanan masih panjang. Publik menuntut lebih dari sekadar penghematan anggaran, melainkan perubahan mendasar dalam integritas, transparansi, dan keberpihakan DPR terhadap rakyat.
Kini, mata rakyat tertuju ke Senayan: apakah keputusan bersejarah ini benar-benar membuka babak baru parlemen yang lebih bersih, atau hanya sekadar manuver politik sesaat di tengah derasnya kritik?
(Mond)
#DPR #Politik #Nasional #TunjanganRumahAnggotaDPR
