Bahlil Digugat Perdata: Konsumen Shell Tuntut Keadilan atas Kelangkaan BBM di SPBU Swasta
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia
D'On, Jakarta — Drama kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah SPBU swasta akhirnya berujung ke meja hijau. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia digugat secara perdata bersama PT Pertamina (Persero) dan PT Shell Indonesia. Gugatan itu dilayangkan oleh Tati Suryati, seorang konsumen Shell yang mengaku dirugikan akibat tidak tersedianya BBM di SPBU swasta selama hampir tiga minggu terakhir.
Gugatan tersebut resmi terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui sistem e-court pada 27 September 2025 dengan nomor perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Kuasa hukum penggugat, Boyamin Saiman, menyebut gugatan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap dugaan praktik monopoli Pertamina serta kelalaian negara dalam menjamin ketersediaan BBM non-pertamina bagi masyarakat.
Alasan Gugatan: Monopoli dan Kelalaian Negara
Boyamin Saiman, yang dikenal sebagai aktivis hukum dan pengacara publik, menegaskan bahwa gugatan ini bukan semata soal nominal kerugian, melainkan persoalan hak konsumen yang terabaikan.
“Kami mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum atas kelangkaan BBM di SPBU swasta, khususnya Shell. Hampir tiga minggu konsumen tidak bisa beli, padahal mereka memilih Shell karena alasan kualitas dan efisiensi. Bahkan dulu, sempat ada isu BBM oplosan yang membuat konsumen lebih percaya pada Shell,” ujar Boyamin dalam keterangan resmi, Senin (29/9/2025).
Menurut Boyamin, Pertamina dianggap melakukan monopoli bisnis BBM, sementara Shell dinilai gagal memenuhi kewajiban pelayanan kepada konsumen karena tidak mampu menyediakan pasokan dalam kurun waktu setahun. Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga ikut digugat karena dianggap lalai tidak memberikan izin penambahan kuota BBM bagi swasta.
“Akibat kelalaian pemerintah, masyarakat hanya punya satu pilihan: Pertamina. Itu jelas tidak sehat bagi iklim usaha maupun bagi konsumen,” tegas Boyamin.
Kisah Konsumen: Dari Shell Nitro ke Pertamina
Sang penggugat, Tati Suryati, adalah konsumen setia Shell. Ia mengaku sejak lama menggunakan produk Shell, dari Shell Nitro hingga Shell Super, karena kualitasnya yang dianggap lebih bersih dan lebih ramah bagi mesin kendaraan.
Namun, sejak awal September, ia tidak lagi bisa mendapatkan BBM Shell. Terpaksa, ia harus beralih ke Pertamina meski menurutnya kualitas berbeda jauh.
“Saya merasa dirugikan ketika selama tiga minggu ini tidak bisa lagi membeli Shell. Terakhir saya beli di awal September, pakai Shell Super. Sebelumnya saya pakai Nitro. Kerugiannya memang cuma sekitar Rp1.100.000, tapi ini soal hak konsumen. Karena itu saya memilih untuk menggugat,” ungkap Tati.
Bagi Tati, perkara ini bukan hanya soal nominal uang, tetapi soal kebebasan konsumen dalam memilih. Ia menilai kehadiran SPBU swasta adalah bentuk alternatif sekaligus penyeimbang bagi monopoli Pertamina.
Shell Membantah Isu Kelangkaan Terkait Rencana Divestasi
Di tengah isu kelangkaan ini, beredar kabar bahwa Shell sengaja mengurangi pasokan karena hendak melepas bisnis SPBU mereka di Indonesia. Namun, pihak Shell menegaskan bahwa anggapan itu tidak benar.
Vice President Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea, memastikan bahwa proses pengalihan kepemilikan SPBU Shell ke perusahaan patungan Citadel Pacific Limited dan Sefas Group tidak ada kaitannya dengan seretnya stok BBM belakangan ini.
“Tidak ada kaitannya ya antara stok BBM dan proses pengalihan kepemilikan SPBU Shell ke Citadel-Sefas. Proses itu sudah bergulir sejak Mei lalu, jauh sebelum isu kelangkaan muncul,” kata Susi ketika dikonfirmasi, Sabtu (27/9/2025).
Dengan demikian, Shell menegaskan bahwa masalah suplai BBM tidak berkaitan dengan restrukturisasi bisnis mereka di Indonesia.
Implikasi Besar: Monopoli, Regulasi, dan Hak Konsumen
Kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi diskursus lebih luas tentang monopoli Pertamina dalam bisnis BBM di Indonesia. Selama ini, Pertamina menjadi pemain dominan, sementara ruang bagi swasta sangat terbatas. Tanpa kuota tambahan dari pemerintah, SPBU swasta seperti Shell atau Vivo sulit bertahan.
Jika gugatan ini dikabulkan, maka dampaknya tidak hanya menyasar Pertamina atau Shell, tetapi juga membuka wacana baru tentang kebijakan energi nasional dan hak konsumen. Apakah konsumen Indonesia berhak mendapatkan alternatif BBM yang lebih berkualitas selain Pertamina? Ataukah monopoli negara melalui Pertamina memang harus dipertahankan demi stabilitas harga dan distribusi?
Gugatan yang dilayangkan Tati Suryati mungkin hanya mengklaim kerugian Rp1,1 juta. Namun di balik angka kecil itu, tersimpan persoalan besar: ketergantungan bangsa ini pada satu pemain utama dalam bisnis BBM, lemahnya regulasi, dan terabaikannya hak konsumen.
Kini, publik menanti langkah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menangani perkara ini. Apakah gugatan ini akan menjadi momentum koreksi besar bagi tata kelola energi Indonesia, atau hanya akan menjadi catatan kecil dalam sejarah panjang monopoli BBM di tanah air?
(T)