Breaking News

Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Dibuat saat Bulan Ramadhan, Begini Kisah Penuh Haru di Baliknya

Proklamator Kemerdekaan Indonesia Soekarno-Hatta (Arsip Nasional)

D'On, Jakarta
– Tepat 80 tahun lalu, bangsa Indonesia menyaksikan lahirnya momen paling monumental dalam sejarah: Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, di balik detik-detik sakral pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta, tersimpan kisah penuh haru tentang bagaimana naskah itu sebenarnya lahir. Tak banyak yang tahu, teks proklamasi kemerdekaan disusun di tengah bulan suci Ramadhan 1364 Hijriah, pada dini hari menjelang sahur.

Dari Rengasdengklok ke Rumah Maeda

Sebelum sampai pada titik penyusunan teks, situasi kala itu begitu menegangkan. Sehari sebelumnya, pada 16 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta sempat "diculik" oleh para pemuda ke Rengasdengklok, Karawang. Tujuannya jelas: mendesak agar proklamasi segera dikumandangkan tanpa menunggu janji Jepang yang kian rapuh.

Namun, perdebatan antara kelompok tua dan kelompok muda membuat situasi semakin panas. Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya dibawa kembali ke Jakarta setelah ada jaminan dari Achmad Soebardjo. Malam itu, mereka kemudian menuju rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol (dulu dikenal sebagai Jalan Meiji), Jakarta.

Rumah Maeda dipilih karena dinilai aman. Laksamana Maeda, perwira tinggi Angkatan Laut Jepang (Kaigun), dikenal bersimpati pada cita-cita kemerdekaan Indonesia. Ia menutup mata terhadap aktivitas para tokoh nasionalis di rumahnya, meskipun hal itu jelas bertentangan dengan perintah militer Jepang sendiri.

Perdebatan Panjang Menyusun Naskah

Di sebuah ruangan besar rumah Maeda, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo duduk serius menyusun teks yang kelak menjadi tonggak kemerdekaan bangsa. Kata demi kata diperdebatkan dengan penuh kehati-hatian. Mereka sadar, kalimat yang mereka tuliskan bukan sekadar pernyataan, melainkan nasib bagi sebuah bangsa baru yang akan lahir.

Sementara itu, para pemuda yang menunggu di ruang tamu merasakan suasana mencekam bercampur harap. Mereka sesekali melihat jam, menyadari waktu semakin larut dan sebentar lagi masuk waktu sahur Ramadhan.

Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang hingga lewat pukul 04.00 WIB, naskah proklamasi rampung. Bung Karno menuliskan draf awal dengan tulisan tangan, lalu teks tersebut diketik rapi oleh Sayuti Melik. Naskah inilah yang esok harinya akan dibacakan di Pegangsaan Timur 56.

Sahur Seadanya di Rumah Maeda

Kisah penyusunan teks proklamasi juga tak lepas dari momen sederhana namun penuh makna: santap sahur. Dalam bukunya, jurnalis senior Rosihan Anwar menulis bahwa selepas naskah selesai, Soekarno dan Hatta keluar dari ruangan untuk menyantap sahur dengan menu apa adanya.

Tak ada hidangan mewah, hanya ikan sarden kalengan, telur, dan roti. Nasi pun tidak tersedia. Bung Hatta sempat membuka kaleng sarden, lalu mencampurnya dengan telur sebagai lauk sederhana. Bung Karno pun makan seadanya, menahan lelah setelah seharian penuh tegang menghadapi desakan pemuda dan negosiasi panjang.

Momen sahur itu menjadi simbol bahwa kemerdekaan bangsa ini lahir dari pengorbanan, kesederhanaan, dan tekad baja, bukan dari kemewahan.

Hening di Perjalanan Pulang

Setelah santap sahur, menjelang subuh, kedua proklamator diantar pulang dengan mobil. Tak banyak percakapan di perjalanan, hanya hening yang menyelimuti. Keletihan fisik dan mental jelas terlihat di wajah mereka, namun ada secercah lega bahwa perjuangan panjang mulai menemukan jalannya.

Dalam keheningan itu, Bung Karno sempat memecah suasana dengan kalimat lirih, “Semoga saja apa yang kita upayakan selama ini untuk Indonesia merdeka dapat berguna bagi anak cucu kelak.” Bung Hatta menimpali singkat namun penuh makna, “Ya, aku juga berharap demikian.”

Fajar Kemerdekaan

Keesokan harinya, Jumat 17 Agustus 1945, teks proklamasi itu pun dibacakan. Di halaman rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56, bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kali sebagai simbol lahirnya sebuah bangsa.

Momen ini menandai berakhirnya penjajahan panjang dan menjadi awal dari babak baru perjalanan Indonesia. Namun, sedikit yang menyadari bahwa kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun itu lahir dari sebuah ruangan sederhana di rumah seorang perwira Jepang, disusun dalam bulan suci Ramadhan, ditemani sahur seadanya dengan ikan sarden dan roti.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan buah dari pengorbanan, kebersamaan, dan doa yang dipanjatkan di bulan penuh berkah.

(Mond)

#Sejarah #KemerdekaanIndonesia #IndonesiaMerdeka #Nasional