Skandal Tol Trans Sumatra: KPK Tahan Eks Dirut Hutama Karya, Dugaan Korupsi Capai Rp205 Miliar
KPK tahan dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) Tahun Anggaran 2018-2020, Rabu (6/8/2025).
D'On, Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menorehkan tinta tebal dalam pemberantasan korupsi berskala besar. Kali ini, sorotan tajam diarahkan pada proyek strategis nasional: Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS). Dua petinggi perusahaan pelat merah PT Hutama Karya resmi ditahan terkait dugaan korupsi pengadaan lahan yang nilainya mencengangkan lebih dari Rp205 miliar.
Mereka yang kini mendekam di balik jeruji adalah Bintang Perbowo, mantan Direktur Utama PT Hutama Karya, dan M. Rizal Sujipto, eks Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi sekaligus Ketua Tim Pengadaan Lahan. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari pertama, mulai 6 hingga 25 Agustus 2025, di Rutan KPK Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan.
Skenario Korupsi yang Tersusun Rapi Sejak Awal Kepemimpinan
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers siang ini mengungkap kronologi yang mengejutkan. Hanya lima hari setelah diangkat sebagai Dirut PT Hutama Karya pada April 2018, Bintang Perbowo langsung menggelar rapat direksi. Dalam forum internal tersebut, lahirlah keputusan penting: rencana pembelian lahan untuk menunjang proyek JTTS. Namun, keputusan itu bukan keputusan biasa ini adalah awal dari rangkaian praktik curang yang sistematis.
Dalam rapat itu pula, nama Iskandar Zulkarnaen muncul ke permukaan. Pemilik PT Sanitarindo Tangsel Jaya (STJ) itu dikenalkan Bintang kepada jajaran direksi sebagai pemilik lahan strategis di Bakauheni, Lampung. Bintang tak hanya menyarankan pembelian lahan dari Iskandar, tapi juga mendorong agar Iskandar memperluas kepemilikan lahannya dengan membeli tanah warga sekitar tentu, atas dasar janji bahwa seluruhnya akan diborong oleh Hutama Karya.
Tidak berhenti sampai di situ, Bintang juga memerintahkan Rizal Sujipto untuk segera menyetujui pembelian lahan yang diajukan Iskandar. Salah satu alasan yang dijadikan pembenaran adalah keberadaan batu andesit di tanah tersebut, yang dinilai memiliki nilai jual tinggi.
Pembayaran Mengalir, Prosedur Dilanggar
Pada September 2018, PT Hutama Karya mulai melakukan pembayaran tahap awal atas lahan di Bakauheni senilai Rp24,6 miliar. Namun dalam proses ini, KPK menemukan sejumlah penyimpangan mencolok, di antaranya:
- Pengadaan lahan tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2018. Artinya, rencana pembelian itu tidak pernah disetujui secara resmi.
- Risalah rapat direksi dipalsukan, alias dibuat backdate untuk memberi kesan seolah-olah telah melalui proses legal.
- Rapat direksi yang diklaim sebagai dasar keputusan ternyata tidak pernah benar-benar terjadi.
- Tidak ada SOP pengadaan lahan yang dijalankan.
- Tidak ada penunjukan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai wajar atau tidaknya harga lahan.
- Tidak ada rencana bisnis atas tanah-tanah yang dibeli.
Semua prosedur formal yang seharusnya menjadi benteng pengamanan keuangan negara, diabaikan.
Kerugian Fantastis: Rp205 Miliar Tanpa Manfaat
Hingga tahun 2020, PT Hutama Karya telah membayar Rp205,14 miliar kepada PT STJ, terdiri dari:
- Rp133,73 miliar untuk lahan di Bakauheni (32 SHGB atas nama PT STJ)
- Rp71,41 miliar untuk lahan di Kalinda (88 SHGB atas nama masyarakat sekitar)
Namun sayangnya, uang negara sebesar itu justru tak membawa manfaat apa pun. Hingga saat ini, lahan-lahan yang dibayar belum dialihkan kepemilikannya kepada BUMN, alias belum dapat dikuasai secara sah oleh PT Hutama Karya.
“Negara tidak memperoleh manfaat apa pun atas lahan-lahan yang dibeli tersebut,” tegas Asep.
Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP RI menyebutkan angka Rp205,14 miliar sebagai total kerugian negara akibat transaksi fiktif dan bermasalah ini.
Tersangka Meninggal, Korporasi Tetap Dihukum
Selain Bintang dan Rizal, KPK juga telah menetapkan Iskandar Zulkarnaen sebagai tersangka. Namun proses hukum terhadapnya dihentikan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia. Meski demikian, KPK tak berhenti. PT Sanitarindo Tangsel Jaya (STJ), perusahaan milik Iskandar, ditetapkan sebagai tersangka korporasi, sehingga tetap bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Aset Disita: 122 Bidang Tanah dan Apartemen Mewah
KPK juga telah menyita sejumlah aset dalam proses penyidikan kasus ini, yakni:
- 122 bidang tanah di Bakauheni dan Kalinda
- 14 bidang tanah di Bakauheni atas nama pribadi Iskandar
- 1 unit apartemen mewah di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan
Langkah penyitaan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mengembalikan kerugian negara.
Pasal yang Dilanggar
Bintang Perbowo dan M. Rizal Sujipto dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman hukuman bagi keduanya mencapai 20 tahun penjara, tergantung pembuktian di persidangan nanti.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa korupsi bukan hanya soal memperkaya diri, tetapi soal merampas hak pembangunan dan memperlambat kemajuan infrastruktur negeri. Jalan tol yang seharusnya menjadi urat nadi konektivitas Sumatra, justru dikotori oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
KPK berjanji akan terus mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya.
(Mond)
#KPK #KorupsiTolTransSumatera #PTHutamaKarya #Korupsi