SK Menag Yaqut Jadi Alat Bukti KPK dalam Kasus Kuota Haji 2024: Dugaan Penyimpangan Skema Pembagian Mengemuka
Mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut seusai menjalani pemeriksaan KPK terkait kuota haji tambahan 2024, Kamis 7 Agustus 2025.
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menelusuri secara serius dugaan penyimpangan dalam pembagian kuota tambahan haji tahun 2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Salah satu dokumen penting yang kini berada di tangan penyidik adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani langsung oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, atau yang akrab disapa Gus Yaqut.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa SK tersebut telah masuk dalam daftar barang bukti yang akan dianalisis. Menurut Asep, keberadaan SK ini menjadi kunci untuk mengurai proses dan pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan pembagian kuota tambahan tersebut.
“Kita akan perlu banyak bukti, dan salah satunya sudah kita peroleh berupa surat keterangan (Menag). Saat ini sedang kita dalami proses penerbitannya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2025).
Fokus Penyidikan: Siapa yang Menyusun dan Memerintahkan?
Penyidik KPK tidak hanya memeriksa keabsahan SK tersebut, tetapi juga ingin mengetahui proses di balik layarnya: apakah dokumen itu benar disusun oleh Menag Yaqut sendiri, atau justru sudah dipersiapkan oleh pihak lain dan kemudian disodorkan untuk ditandatangani.
Lebih jauh, KPK juga membidik pertanyaan krusial: siapa yang memerintahkan pembagian kuota tambahan dengan pola yang berbeda dari ketentuan undang-undang.
“Apakah ini usulan dari bottom-up (bawahan)? Atau top-down (dari atasan langsung)? Ini yang sedang kita dalami,” tegas Asep.
Pola Pembagian Diduga Menyimpang dari UU
Berdasarkan SK Menag Nomor 130 Tahun 2024, kuota tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi sebesar 20.000 jemaah dibagi rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Padahal, Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur bahwa pembagian kuota harus mengikuti komposisi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus.
Jika aturan itu diikuti, dari kuota tambahan 20.000 jemaah, 18.400 seharusnya masuk kategori haji reguler dan hanya 1.600 untuk haji khusus. Namun kenyataannya, pembagian dibuat 50:50 — perbedaan yang sangat mencolok dan berpotensi merugikan ribuan calon jemaah haji reguler.
Mengapa Haji Khusus Jadi Sorotan?
Haji khusus dikenal sebagai jalur yang memerlukan biaya jauh lebih tinggi dibanding haji reguler, sehingga segmentasi pesertanya pun berbeda. Dalam skema normal, jumlahnya sangat terbatas.
Dengan pembagian 50% untuk haji khusus, jumlah kursi yang masuk kategori premium melonjak drastis. Kondisi ini membuka ruang spekulasi adanya motif keuntungan tertentu bagi pihak-pihak yang terlibat, mengingat biaya yang dibayarkan per jemaah haji khusus bisa mencapai beberapa kali lipat dari biaya haji reguler.
Langkah KPK ke Depan
KPK kini tengah memanggil sejumlah saksi dari internal Kemenag untuk mengurai alur kebijakan ini. Penyidik juga akan memeriksa rantai koordinasi mulai dari staf teknis, pejabat eselon, hingga pejabat tinggi di kementerian.
Jika ditemukan adanya intervensi atau penyalahgunaan wewenang dalam perubahan komposisi kuota, bukan tidak mungkin kasus ini akan berkembang menjadi dugaan korupsi dengan skema kebijakan yang menyimpang dari aturan perundangan.
Analisis Sementara:
Kasus ini menjadi perhatian publik bukan hanya karena melibatkan kuota ibadah yang sangat sensitif bagi umat Muslim Indonesia, tetapi juga karena potensi kerugian yang dialami oleh puluhan ribu calon jemaah haji reguler. Dokumen SK Menag yang kini berada di meja penyidik KPK bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar dugaan adanya keputusan yang tidak sesuai hukum, sekaligus mengungkap apakah ini murni kelalaian administratif atau ada manuver politik dan ekonomi di baliknya.
(B1)
#KPK #Korupsi #KorupsiKuotaHaji #YaqutCholilQoumas