Putar Suara Burung atau Instrumen Alam di Kafe Tetap Wajib Bayar Royalti, Ini Penjelasan Ketua LMKN
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun. FOTO/LMKN
D'On, Jakarta – Kafe yang memutar suara burung berkicau atau lantunan suara alam lainnya sebagai latar musik ternyata tidak bebas dari kewajiban hukum. Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa penggunaan suara atau instrumen alam tetap dikenakan royalti apabila suara tersebut sudah melalui proses rekaman dan fiksasi yang sah.
“Jika suara burung atau suara alam tersebut direkam oleh seseorang atau badan usaha, dan kemudian difiksasikan, maka hal itu menjadi objek perlindungan hukum dan wajib dikenai royalti,” ujar Dharma kepada Tirto pada Selasa (5/8/2025).
Apa Itu Fiksasi dalam Konteks Hak Cipta?
Fiksasi, menurut Dharma, adalah proses perekaman suara sehingga menjadi bentuk tetap atau stabil—yang memungkinkan karya tersebut dapat dilihat, didengar, diputar ulang, atau disebarluaskan melalui perangkat teknologi apa pun. Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa suara tersebut telah masuk dalam kategori fonogram dan menjadi bagian dari hak terkait dalam sistem hak cipta.
“Perekaman tersebut menghasilkan produk rekaman. Produsernya—baik perorangan maupun badan usaha—memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Hak ini disebut sebagai hak terkait,” jelasnya lebih lanjut.
Dengan kata lain, meskipun yang diputar adalah kicauan burung yang terdengar alami, jika rekaman tersebut merupakan hasil karya seseorang atau entitas tertentu yang sudah diproduksi dan dipasarkan secara resmi, maka penggunaannya di ruang publik seperti kafe, restoran, hotel, atau tempat usaha lain tetap harus membayar royalti kepada pemilik hak.
Instrumen dan Lagu Internasional Juga Dilindungi
Lebih jauh, Dharma menegaskan bahwa tak hanya karya lokal, lagu-lagu dan instrumen dari luar negeri pun dilindungi melalui kerja sama internasional yang dijalin oleh LMKN. Lewat perjanjian timbal balik atau reciprocal agreement antara LMKN Indonesia dan lembaga manajemen kolektif dari negara-negara lain, perlindungan terhadap karya cipta lintas batas negara kini semakin kuat dan berlaku dua arah.
“Lagu internasional juga dilindungi, begitu pun lagu Indonesia yang diputar di luar negeri. LMKN memiliki kerja sama timbal balik dengan banyak negara,” katanya.
Itu berarti, setiap pelaku usaha yang memutar musik dari luar negeri, baik lagu vokal maupun instrumental, tetap diwajibkan membayar royalti melalui LMKN sebagai lembaga resmi di Indonesia. Bahkan untuk instrumen musik tanpa lirik yang terdengar sederhana sekalipun, jika itu merupakan hasil produksi pihak tertentu, maka penggunaannya tak bisa dianggap gratis.
“Begitu pun lagu-lagu instrumentalia, itu adalah bentuk karya cipta yang juga dilindungi undang-undang,” tambah Dharma.
DPR Minta Regulasi Royalti Lebih Adil
Sementara itu, wacana mengenai regulasi royalti juga sedang mendapat sorotan dari kalangan legislatif. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa pihaknya tengah mengevaluasi aturan royalti yang berlaku saat ini. DPR bahkan tengah menggarap revisi Undang-Undang Hak Cipta, salah satu klausul penting yang akan diperbaiki adalah menyangkut mekanisme pembayaran dan perlindungan hak royalti.
“DPR RI juga mencermati dunia permusikan yang belakangan ini mengalami berbagai dinamika. Kami sudah meminta Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi LMKN untuk bersikap lebih adil dalam merumuskan aturan,” ujar Dasco.
Pernyataan tersebut menandakan adanya perhatian serius dari parlemen terhadap keluhan dan keresahan para pelaku industri musik serta pelaku usaha yang merasa terbebani oleh sistem royalti saat ini.
Suara Alam Tidak Lagi Netral?
Polemik terkait suara alam menjadi menarik karena selama ini masyarakat awam cenderung menganggap suara burung berkicau, desiran ombak, atau gemericik air sungai sebagai elemen bebas yang bisa digunakan tanpa konsekuensi hukum. Namun, dengan adanya fiksasi rekaman oleh produsen, suara-suara ini masuk dalam lingkup perlindungan kekayaan intelektual.
Faktanya, suara alam yang direkam dan dikomersialkan oleh label tertentu misalnya untuk kebutuhan relaksasi, meditasi, atau latar ambience di tempat publik telah menjadi produk ekonomi kreatif yang tidak bisa diakses secara cuma-cuma. Penggunaannya di ruang publik tetap harus mendapat izin atau membayar royalti kepada pemilik hak.
Hal ini menegaskan bahwa dalam era digital dan industri kreatif saat ini, bahkan elemen-elemen yang dianggap “alami” bisa menjadi bagian dari sistem hak kekayaan intelektual yang kompleks dan memiliki implikasi hukum yang nyata.
Catatan: Bagi pelaku usaha atau individu yang ingin menggunakan suara-suara tertentu untuk kebutuhan komersial di ruang publik, disarankan untuk selalu mengecek status hak cipta atau hak terkait dari rekaman tersebut. LMKN menyediakan jalur resmi untuk mendapatkan izin dan membayar royalti secara legal.
(T)
#LMKN #Royalti #Nasional