Breaking News

MPR Akan Panggil Menteri Agama Terkait Perusakan Rumah Doa di Padang: Isyarat Darurat Toleransi di Tengah Masyarakat

Ilustrasi Gedung MPR/DPR

D'On, Jakarta
- Kejadian memilukan terjadi di Padang, Sumatra Barat. Rumah doa yang seharusnya menjadi tempat tenang untuk beribadah dan belajar bagi anak-anak justru berubah menjadi medan kekerasan dan ketakutan. Akibat insiden itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengambil langkah serius: memanggil para pejabat tinggi negara, termasuk Menteri Agama, guna membahas akar dan solusi dari merosotnya nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kekerasan di Tempat Ibadah: Anak-anak Jadi Korban

Peristiwa ini terjadi pada Minggu, 27 Juli 2025, di sebuah rumah doa di kawasan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Saat itu, sekitar 30 anak sedang mengikuti pengajaran dan kegiatan ibadah. Suasana yang semula penuh damai seketika berubah mencekam.

Sekelompok warga tiba-tiba datang, lalu merusak fasilitas rumah doa tersebut. Mereka memecahkan kaca jendela dengan kayu, melempar kursi ke dalam ruangan, mematikan listrik, serta membanting dan merusak barang-barang di dalam. Anak-anak yang ketakutan berteriak dan berlarian keluar. Di antara mereka, dua anak mengalami kekerasan fisik: satu dipukul di kaki dengan kayu, dan satu lagi di bagian bahu.

Pemandangan itu mengguncang hati siapa pun yang melihat. Rumah ibadah yang mestinya menjadi simbol kedamaian dan kebersamaan lintas iman malah menjadi saksi kekerasan atas nama ketidaksukaan terhadap perbedaan.

Respon Tegas MPR: Negara Tidak Boleh Diam

Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menanggapi kejadian ini dengan tegas. Dalam pernyataannya di Gedung Nusantara V, Kompleks DPR-MPR Senayan, Jakarta (Minggu, 3/8), Muzani menyampaikan bahwa insiden ini menunjukkan bahwa kesadaran hidup dalam perbedaan belum sepenuhnya mengakar di masyarakat.

“Kami akan memanggil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Perguruan Tinggi dan Riset, Menteri Agama, Kepala BPIP, dan Gubernur Lemhanas. Kita ingin memastikan bahwa proses penanaman nilai toleransi dan kebhinekaan benar-benar dijalankan, baik di pendidikan formal maupun ruang sosial masyarakat,” ujar Muzani.

Menurutnya, penanaman nilai toleransi tidak cukup hanya dalam bentuk kurikulum. Ia menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif melalui ruang-ruang informal seperti komunitas, budaya lokal, dan interaksi sosial sehari-hari.

“Kesadaran untuk hidup bersama itu bukan hanya soal kurikulum, tapi juga bagaimana kita menghidupkan saling menghargai dan menghormati di kehidupan nyata,” tegasnya.

Pendidikan Karakter Jadi Fokus

MPR melihat urgensi untuk menguatkan pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan sejak usia dini. Menurut Muzani, kasus seperti di Padang tidak bisa dibiarkan berulang. Pendidikan tidak boleh hanya mencetak siswa cerdas secara akademis, tapi juga manusia yang utuh: toleran, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

MPR pun mendukung gagasan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang sempat mewacanakan kurikulum pendidikan cinta—sebuah gagasan progresif yang menekankan nilai-nilai kasih, empati, dan keberagaman sebagai landasan kehidupan berbangsa.

Media Sosial: Pisau Bermata Dua

Muzani juga menyoroti peran besar media sosial dalam membentuk opini dan suasana batin publik. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi alat untuk memperkuat semangat gotong royong dan persatuan. Tapi di sisi lain, ia memperingatkan, platform digital juga sering dimanfaatkan untuk menyebar ujaran kebencian, fitnah, dan ideologi intoleransi.

“Karena itu, literasi digital dan penguatan nilai-nilai Pancasila di ruang digital juga harus menjadi perhatian bersama,” katanya.

Intoleransi Adalah Ancaman Nyata

Insiden di Padang hanyalah satu dari sekian kasus intoleransi yang kerap muncul di Indonesia. Dan seperti yang sering terjadi, reaksi baru muncul saat luka sudah menganga. Muzani mengkritisi bahwa sosialisasi Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) sering dianggap tidak perlu saat suasana aman, tapi baru dianggap penting saat konflik muncul.

“Jangan sampai kita terlambat sadar. Empat Pilar adalah fondasi kebangsaan kita, dan harus dirawat dalam situasi apa pun,” tutupnya.

Catatan Akhir

Indonesia bukan hanya rumah bagi mayoritas, tapi juga bagi minoritas. Toleransi bukan sekadar slogan, melainkan pondasi eksistensi bangsa ini. Kasus perusakan rumah doa di Padang bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga alarm keras bahwa benih-benih intoleransi terus hidup dan mengancam perdamaian.

Langkah MPR memanggil para pemangku kebijakan adalah awal yang baik. Tapi ke depan, lebih dari sekadar pertemuan, bangsa ini perlu kerja kolektif dari rumah tangga, sekolah, tempat ibadah, media, hingga negara untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak yang menjerit ketakutan di rumah ibadahnya sendiri.

(Mond)

#PengrusakanRumahDoa #Peristiwa #Padang