Breaking News

Mahasiswa UIN Imam Bonjol Tolak Kehadiran Gubernur Mahyeldi: “Tuan Rumah Tidak Akan Berunding dengan Maling yang Menjarah Rumahnya”

Presiden Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang Hidayatul Fikri mengangkat poster menolak kehadiran Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi Ansharullah ataupun yang mewakilinya di kampus itu pada 19 Agustus 2025. Mahasiswa mengecam izin pengusahaan hutan di Pulau Sipora yang diberikan Mahyeldi karena dianggap merampas hak-hak masyarakat adat. Rian/LPM Suara Kampus.

D'On, Padang —
Suasana Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Selasa (19/8/2025), seharusnya menjadi ajang penyambutan mahasiswa baru. Namun, agenda itu berubah menjadi panggung perlawanan terbuka mahasiswa terhadap Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah.

Alih-alih karpet merah, Mahyeldi justru disambut dengan poster bertuliskan kalimat tajam: “Tuan Rumah Tidak Akan Berunding dengan Maling yang Menjarah Rumahnya.” Poster itu dipublikasikan sehari sebelumnya melalui akun Instagram resmi DEMA UIN Imam Bonjol Padang, @demauinibpadang_, dan dengan cepat menyebar di kalangan mahasiswa maupun publik Sumatera Barat.

Mahasiswa Menolak Jadi Tuan Rumah bagi Penguasa yang Dianggap Menindas

Presiden Mahasiswa UIN Imam Bonjol, Hidayatul Fikri, menyatakan bahwa penolakan tersebut bukanlah aksi spontan tanpa alasan, melainkan bentuk sikap tegas terhadap kebijakan Gubernur Mahyeldi yang dinilai merugikan rakyat.

“Masa kami menjamu tamu yang nyatanya sedang bermasalah, yang nyatanya sedang menggadaikan masyarakat, yang merampas hak masyarakat adat,” tegas Fikri dalam pernyataan resminya.

Menurutnya, mahasiswa menolak mentah-mentah hadirnya gubernur karena keterlibatannya dalam polemik izin pengelolaan lahan di Pulau Sipora, Kabupaten Mentawai.

Polemik Izin PT Sumber Permata Sipora

Akar penolakan ini bermula dari surat rekomendasi yang dikeluarkan Mahyeldi untuk PT Sumber Permata Sipora (SPS) dalam pengelolaan lahan seluas 22 ribu hektare di Pulau Sipora. Dari total lahan tersebut, 14 ribu hektare di antaranya merupakan hutan adat.

Bagi mahasiswa, surat rekomendasi itu bukan sekadar dokumen administratif. Ia simbol pengabaian terhadap masyarakat adat Mentawai yang selama ini menjaga ruang hidupnya. Fikri menegaskan, proses perizinan itu penuh kejanggalan, tidak sesuai regulasi, dan bahkan melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pulau Kecil.

“Kami sebagai mahasiswa tidak bisa diam melihat hak-hak masyarakat adat dirampas begitu saja,” katanya lantang.

Isu Lain yang Membelit Mahyeldi

Selain persoalan di Mentawai, mahasiswa juga mengingatkan bahwa ada sederet kasus lain yang belum terselesaikan di masa kepemimpinan Mahyeldi. Dalam aksi Indonesia Cemas di DPRD Sumbar beberapa waktu lalu, mahasiswa menuntut kejelasan soal:

  • PT Incasi Raya, perusahaan perkebunan yang kerap menuai konflik agraria.
  • PLTU Ombilin, proyek energi fosil yang dituding merusak lingkungan dan mengabaikan transisi energi bersih.
  • Proyek Strategis Nasional (PSN) Air Bangis, Pasaman Barat, yang sempat memicu penolakan besar-besaran karena berdampak pada nelayan dan masyarakat pesisir.

Namun, kata Fikri, hingga kini suara mahasiswa tak pernah mendapat tanggapan serius. “Sampai hari ini belum ada tindak lanjut. Bahkan ketika kami menuntut pembatalan izin PT Sumber Permata Sipora, gubernur bungkam,” ucapnya.

Gubernur Tak Hadir, Mahasiswa Tetap Menolak

Pada hari yang dijadwalkan, Gubernur Mahyeldi urung hadir. Ia mengutus Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Barlius, untuk menyampaikan materi. Namun, mahasiswa tetap konsisten menolak kehadiran perwakilan pemerintah provinsi.

Fikri menegaskan, penolakan ini murni sikap mahasiswa, tanpa intervensi ataupun tekanan dari pihak kampus. “Kami berdiri atas nama nurani dan keberpihakan pada rakyat,” ujarnya.

Bukan Penolakan Pertama

Penolakan terhadap Mahyeldi di kampus Islam bukanlah hal baru. Pada Agustus 2023, mahasiswa UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi juga menolak kehadiran gubernur. Kala itu, penolakan dipicu oleh proyek kilang minyak dan petrokimia di Air Bangis, yang diklaim mengancam ruang hidup masyarakat nelayan.

Kini, dua tahun berselang, sejarah kembali berulang. Figur Mahyeldi yang dikenal religius dan dekat dengan jargon moralitas Islam, justru ditolak oleh mahasiswa kampus Islam karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.

Reaksi Pemerintah: Minim Penjelasan

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Barlius, yang hadir menggantikan gubernur, membenarkan adanya aksi penolakan. Namun, tanggapannya justru datar.
“Ya, ada demo menolak izin suatu perusahaan di Mentawai. Tapi saya tidak sempat menanggapi karena buru-buru berangkat ada kegiatan,” ujarnya singkat.

Sikap ini semakin mempertegas jarak antara pemerintah provinsi dan aspirasi mahasiswa. Alih-alih memberi klarifikasi, pemerintah memilih diam dan menghindar.

Catatan Akhir

Penolakan mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang terhadap Gubernur Mahyeldi adalah potret krisis kepercayaan generasi muda terhadap penguasa daerahnya. Mahasiswa menolak hadirnya simbol kekuasaan yang mereka nilai telah “menjual” tanah dan ruang hidup masyarakat adat kepada korporasi.

Di balik poster provokatif dan orasi lantang, ada pesan mendalam: mahasiswa tidak akan tinggal diam melihat pemimpin yang mereka anggap menyeleweng dari amanah rakyat.

Jika suara-suara kritis ini terus diabaikan, Sumatera Barat bisa jadi menghadapi jurang keterasingan antara penguasa dan generasi muda yang seharusnya menjadi penopang masa depan daerah.

(DEMA UIN)

#SumateraBarat #UINImamBonjol #GubernurSumbar