Che Guevara: Dokter, Pemberontak, dan Simbol Abadi Perlawanan
![]() |
Che Guevara tokoh revolusioner yang berpengaruh di Amerika latin |
Dirgantaraonline - Mungkin ada beberapa diantara kita terpasang poster Che Guevara di dinding kamar, di spanduk demonstrasi, di kaos lusuh para pemuda, wajah itu selalu hadir: sorot mata tajam, berbalut baret hitam dengan bintang perak di tengahnya. Dunia mengenalnya sebagai Che Guevara.
Namun di balik foto legendaris karya Alberto Korda itu, tersimpan kisah seorang manusia biasa yang memutuskan untuk melawan seluruh tatanan dunia yang dianggapnya tak adil dengan risiko mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya.
Che Guevara Lahir di Rosario, Argentina, 1928
14 Juni 1928. Di sebuah rumah tua di kota Rosario, Argentina, Ernesto Guevara de la Serna lahir dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna. Sejak bayi, Che sudah diuji oleh penyakit asma yang menyerangnya tanpa ampun. Serangan asma sering membuatnya terengah-engah, tapi itu tak pernah memadamkan rasa ingin tahunya.
Celia, ibunya, berkata suatu hari:
"Asma ini hanya akan menghentikan napasnya, bukan langkahnya."
Ernesto kecil tumbuh cerdas, kritis, dan haus pengetahuan. Ia membaca sastra klasik, filsafat, sejarah perang, bahkan karya Karl Marx di usia belia. Sifat keras kepala dan rasa keadilannya yang tinggi mulai terbentuk sejak masa ini.
Perjalanan yang Mengubah Segalanya
Tahun 1951, di usia 23, mahasiswa kedokteran ini memutuskan melakukan perjalanan keliling Amerika Latin dengan motor tua La Poderosa II bersama sahabatnya, Alberto Granado. Mereka menembus pegunungan, hutan, dan padang pasir bukan sebagai turis, tapi sebagai pengamat kehidupan rakyat jelata.
Di tambang tembaga Chuquicamata, ia melihat buruh bekerja tanpa alat pelindung. Di desa-desa Peru, ia menyentuh tangan para penderita kusta yang dijauhi orang. Dalam buku catatannya, ia menulis:
"Saya tak lagi melihat perbatasan di peta. Saya melihat satu benua yang dilukai oleh ketidakadilan yang sama."
Perjalanan itu mengubah tujuan hidupnya. Ia tak lagi bercita-cita hanya menjadi dokter; ia ingin menjadi dokter bagi seluruh rakyat tertindas, dan baginya itu berarti memimpin revolusi.
Meksiko, 1955: Pertemuan Takdir
Selepas dari Guatemala yang jatuh akibat kudeta CIA pada 1954, Ernesto melarikan diri ke Meksiko. Di sanalah ia bertemu Fidel Castro dan adiknya, Raúl, yang sedang merencanakan pemberontakan melawan diktator Kuba, Fulgencio Batista.
Pertemuan itu singkat namun menentukan. Fidel menatap mata Che dan berkata:
"Kau dokter? Bagus. Tapi di Kuba, kita butuh pejuang. Apa kau siap bertarung?"
Che menjawab tanpa ragu:
"Saya siap berjuang, bahkan jika itu berarti mati."
Perjalanan Menuju Kuba
Pada 25 November 1956, sebuah kapal kecil bernama Granma berlayar dari Meksiko membawa 82 pejuang. Ombak tinggi dan perbekalan minim membuat perjalanan menjadi neraka. Setelah tujuh hari, mereka mendarat di pantai Kuba dan langsung diserang tentara Batista.
Hanya 12 orang yang selamat dan berhasil melarikan diri ke pegunungan Sierra Maestra. Di sinilah Che berubah dari dokter menjadi komandan gerilya. Ia memimpin pasukan kecilnya dengan disiplin keras: pencuri dihukum, pengkhianat dieksekusi, dan setiap prajurit wajib menghormati rakyat desa.
Seorang prajurit muda pernah mengeluh tentang aturan itu, dan Che menjawab tegas:
"Jika kita kehilangan dukungan rakyat, kita sudah kalah bahkan sebelum menembak."
Santa Clara: Kemenangan Revolusi
Tahun 1958, perang gerilya mencapai puncaknya. Che memimpin serangan ke kota Santa Clara, titik strategis yang memutus jalur pasokan Batista. Dalam pertempuran sengit, pasukannya berhasil menghentikan kereta lapis baja penuh senjata. Kemenangan ini menjadi pukulan terakhir bagi rezim Batista, yang melarikan diri pada 1 Januari 1959.
Rakyat menyambut pasukan Che sebagai pahlawan. Namun di tengah euforia itu, Che tetap waspada:
"Revolusi belum selesai. Menang adalah mudah, mempertahankannya yang sulit."
Dari Medan Perang ke Panggung Dunia
Che menjabat berbagai posisi penting di pemerintahan Kuba: Menteri Industri, kepala bank sentral, dan utusan diplomatik. Ia mengunjungi Uni Soviet, Tiongkok, dan negara-negara dunia ketiga, menyerukan perlawanan terhadap imperialisme.
Pidatonya di PBB pada 1964 menggema:
"Kami bersumpah tidak akan menyerah sampai imperialisme dihancurkan."
Namun jiwa Che tak betah di kantor. Ia merindukan suara tembakan di hutan dan rasa persaudaraan di medan perang. Pada 1965, ia menghilang dari publik dan meninggalkan sepucuk surat kepada Fidel, berpamitan untuk mencari revolusi baru.
Kongo dan Bolivia: Perang Terakhir
Che mencoba memicu revolusi di Kongo, Afrika, namun gagal. Ia kembali sebentar ke Kuba, lalu menuju Bolivia pada 1966 dengan nama samaran “Ramón.” Rencananya: menjadikan Bolivia pusat revolusi Amerika Latin.
Namun kondisi di lapangan buruk. Rakyat setempat takut terlibat, pasukan gerilyanya kekurangan makanan, dan militer Bolivia—dengan dukungan CIA—memburu mereka tanpa henti.
Lembah Yuro, 1967: Akhir Legenda
8 Oktober 1967. Di Lembah Yuro, Bolivia, pasukan Che terkepung. Dalam baku tembak, Che tertembak di kaki dan senjatanya rusak. Ia ditangkap hidup-hidup. Tentara yang menangkapnya melapor ke markas:
"Kami punya si Kuba."
Che hanya menjawab:
"Saya Che Guevara. Kau telah menangkap hidup-hidup orang yang kau cari."
Sehari kemudian, di sekolah kecil desa La Higuera, Che duduk di kursi kayu dengan tangan terikat. Perintah eksekusi datang dari atas. Sebelum ditembak, ia menatap algojonya dan berkata:
"Tembaklah. Kau hanya akan membunuh seorang manusia."
Beberapa peluru menembus tubuhnya. Pada usia 39 tahun, Che Guevara wafat.
Wajah yang Tak Pernah Pudar
Jenazahnya dikubur secara rahasia hingga ditemukan pada 1997 dan dipindahkan ke Kuba. Hingga kini, wajah Che menghiasi poster, mural, dan hati para pejuang di seluruh dunia.
Bagi sebagian orang, ia adalah pahlawan yang melawan penindasan. Bagi yang lain, ia adalah militan keras yang berdarah dingin. Tapi tak ada yang menyangkal satu hal: Che Guevara adalah bukti bahwa keyakinan dan keberanian bisa mengubah sejarah.
"Biarkan saya katakan, di risiko terdengar konyol, bahwa seorang revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang besar."
— Che Guevara
Penulis: Osmond Abu Khalil
Dari Berbagai Sumber
#TokohDunia #CheGuevara #Revolusi