Ancaman Megathrust Selat Sunda Kian Nyata: BMKG Ingatkan Potensi Gempa Dahsyat Seperti Kamchatka
Ilustrasi gempa Rusia. (Istimewa/Istimewa)
D'On, Jakarta – Kekhawatiran akan potensi gempa bumi dahsyat di Indonesia kembali mencuat. Setelah guncangan kuat berkekuatan Magnitudo 8,7 mengguncang Semenanjung Kamchatka, Rusia pada 30 Juli 2025 dan memicu tsunami, para ahli dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa Indonesia khususnya kawasan Selat Sunda dan wilayah sekitarnya bisa mengalami hal serupa, bahkan lebih buruk.
Peringatan ini disampaikan langsung oleh Dr. Daryono, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, yang menyoroti kemiripan pola seismik antara Kamchatka dan beberapa zona megathrust aktif di Indonesia. Menurutnya, peristiwa di Rusia itu seharusnya menjadi cermin peringatan dini bagi Indonesia, mengingat Indonesia memiliki beberapa zona megathrust yang sudah sangat lama menyimpan energi tektonik tanpa pelepasan signifikan.
Mengapa Gempa Kamchatka Jadi Peringatan Keras Bagi Indonesia?
Gempa Kamchatka bukan kali pertama terjadi di wilayah tersebut. Pada tahun 1952, wilayah yang sama pernah diguncang gempa M 9,0 yang menyebabkan tsunami setinggi 18 meter. Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.300 orang dan meninggalkan jejak kehancuran besar. Setelah lebih dari tujuh dekade atau tepatnya 73 tahun tidak menunjukkan aktivitas seismik besar, zona tersebut akhirnya kembali "melepaskan" energi dengan magnitudo yang nyaris serupa.
Inilah yang dikenal sebagai seismic gap suatu kondisi di mana sebuah zona subduksi aktif tidak mengalami gempa besar dalam kurun waktu yang sangat lama, padahal lempeng-lempeng tektonik terus bergerak dan menumpuk energi. Dan kondisi seperti ini juga terjadi di beberapa zona megathrust Indonesia.
Selat Sunda: Diam Bukan Berarti Aman
“Sebagai perbandingan, zona seismic gap Megathrust Selatan Banten dan Selat Sunda sudah berusia 267 tahun, sementara zona megathrust Mentawai dan Siberut mencapai 227 tahun,” kata Dr. Daryono dalam keterangannya pada Sabtu (2/8/2025).
Data historis mencatat, gempa megathrust terakhir di Selat Sunda terjadi pada tahun 1757. Artinya, sudah lebih dari dua setengah abad zona ini tidak mengalami gempa besar. Padahal, wilayah ini merupakan bagian dari zona subduksi aktif tempat Lempeng Indo-Australia menyusup ke bawah Lempeng Eurasia sebuah proses geologis yang terus berlangsung setiap tahun dan secara perlahan membangun tekanan luar biasa di kerak bumi.
“Kondisi ini membuat kawasan Selat Sunda jauh lebih rentan. Zona megathrust kita sebenarnya jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan zona lain di dunia,” tegas Daryono. Ia menambahkan bahwa dengan lamanya masa seismic gap ini, Selat Sunda dan Mentawai pada dasarnya hanya tinggal menunggu waktu untuk melepaskan energi yang tertahan.
Risiko Nyata di Tengah Kepadatan Penduduk dan Objek Vital
Kekhawatiran BMKG bukan tanpa alasan. Selat Sunda merupakan jalur vital yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra. Di sepanjang pesisir kawasan ini terdapat banyak kota dan permukiman padat penduduk, pelabuhan penting, kawasan industri, bahkan destinasi wisata.
Jika gempa megathrust terjadi dan memicu tsunami seperti di Kamchatka atau lebih parah seperti Aceh 2004 dampaknya bisa sangat menghancurkan. Ribuan, bahkan jutaan warga di kawasan pesisir seperti Lampung Selatan, Serang, Pandeglang, dan pesisir barat Lampung berada dalam risiko tinggi.
Tak hanya korban jiwa, potensi kerugian ekonomi juga sangat besar. Selain jalur logistik nasional, Selat Sunda juga dilalui pipa gas, jaringan listrik bawah laut, dan menjadi pintu gerbang perdagangan antarpulau.
BMKG Serukan Kesiapsiagaan Nasional
Menghadapi kenyataan ini, BMKG kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah untuk tidak mengabaikan potensi bencana besar ini. Menurut Daryono, ancaman megathrust bukan sekadar wacana atau prediksi teoritis, melainkan risiko geologis yang terus mengintai.
“Kita harus serius dalam upaya mitigasi. Masyarakat harus dibekali pengetahuan soal evakuasi mandiri, pemerintah daerah perlu menyiapkan peta rawan tsunami, jalur evakuasi, dan sistem peringatan dini,” tegasnya.
BMKG juga menyoroti pentingnya pembangunan berbasis kesadaran risiko. Bangunan-bangunan vital di zona rawan harus mengikuti standar tahan gempa. Edukasi dan simulasi bencana perlu dilakukan rutin agar masyarakat tidak panik saat kejadian benar-benar datang.
Belajar dari Gempa-Gempa Besar di Dunia
Apa yang terjadi di Kamchatka, Turki, Jepang, atau Aceh harus dijadikan pembelajaran berharga. Zona-zona megathrust memang senyap dalam waktu lama, namun ketika mereka bergerak, dampaknya bisa membawa kehancuran dalam hitungan menit.
Seperti kata pepatah geologi: "It’s not a question of if, but when." Bukan soal apakah gempa itu akan terjadi, tapi kapan ia akan terjadi.
(B1)
#Megathrust #BMKG #Nasional