Breaking News

80 Tahun Indonesia Merdeka, 10 Desa di Alor Belum Teraliri Listrik, Warga Terpaksa Numpang Internet Timor Leste

Masyarakat Desa Banuan, Nusa Tenggara Timur (NTT) - dok: ist

D'On, Alor, NTT
– Delapan dekade sudah Indonesia merdeka. Namun, kemerdekaan yang seharusnya bermakna kesejahteraan dan pemerataan pembangunan belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat di pelosok negeri. Sebuah ironi muncul dari Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana 10 desa hingga kini masih hidup dalam kegelapan tanpa aliran listrik dari PLN.

Bagi warga desa-desa ini, malam bukan sekadar waktu untuk beristirahat, tetapi juga perjuangan menghadapi keterbatasan. Anak-anak belajar dengan bantuan cahaya pelita atau lampu minyak tanah, sementara sebagian keluarga yang lebih mampu sesekali menyalakan genset dengan biaya operasional yang tinggi.

Desa-Desa yang Hidup dalam Gelap

Daftar desa yang belum tersentuh aliran listrik tersebar di empat kecamatan. Di Kecamatan Pureman terdapat Desa Kailesa, Desa Langkuru, Desa Langkuru Utara, dan Desa Purnama. Lalu di Kecamatan Mataru Barat, tepatnya di Dusun Rumah Lelang, ada Desa Lakatuli dan Desa Mataru Barat. Sementara itu, Desa Sidabui dan Desa Maikang berada di Kecamatan Alor Selatan, serta Desa Merdeka di Kecamatan Pantai Timur.

Kesepuluh desa ini rata-rata berada di wilayah terpencil, dikelilingi perbukitan dan hutan, dengan akses jalan yang rusak parah. Saat musim hujan, jalanan menjadi lumpur licin, membuat distribusi logistik maupun pembangunan infrastruktur semakin terhambat.

“Kalau malam, gelap gulita. Anak-anak kesulitan belajar dan aktivitas masyarakat sangat terbatas. Ada yang harus jalan jauh hanya untuk bisa mengisi daya telepon genggam,” ungkap Soleman Gorang Mau, Anggota Komisi V DPRD NTT, Kamis (14/8/2025).

Internet Menumpang Timor Leste

Kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi di Kecamatan Pureman. Selain tidak memiliki jaringan listrik, empat desa di kecamatan ini juga tidak tersentuh layanan internet. Dalam era digital, ketika dunia terhubung hanya dengan sentuhan jari, warga Pureman justru harus bergantung pada sinyal internet dari negara tetangga, Timor Leste.

“Jarak dari pusat kabupaten sekitar 80 kilometer. Karena masuk wilayah perbatasan, warga di sana lebih mudah menangkap jaringan dari Timor Leste ketimbang dari Indonesia,” jelas Soleman.

Tak jarang, warga harus mendaki bukit atau mencari titik tertentu agar ponsel mereka bisa menangkap sinyal. Hal ini menjadikan akses informasi dan komunikasi mereka sangat terbatas.

Harapan dari Program Dasa Cita

Kabar baik sempat disampaikan oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTT, Rosye Maria Hedwine. Menurutnya, pemerintah provinsi bersama pemerintah pusat sudah menyiapkan program pemasangan meteran listrik gratis 450 Volt Ampere (VA) pada tahun 2025.

“Program ini menyasar kabupaten yang rasio elektrifikasinya masih di bawah 90 persen. Untuk Kabupaten TTS, Sabu Raijua, Manggarai Timur, Sumba Barat Daya, Ende, dan Alor, akan dipasang total 762 unit meteran listrik gratis,” jelas Rosye.

Program ini merupakan bagian dari Dasa Cita, visi pembangunan yang diusung oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, dengan harapan mampu menjawab ketertinggalan masyarakat di desa-desa terpencil.

Namun, jumlah 762 unit untuk seluruh kabupaten tentu masih jauh dari cukup, mengingat ribuan rumah tangga di pelosok NTT hingga kini belum tersentuh listrik.

Antara Harapan dan Kenyataan

Bagi warga desa di Alor, janji-janji program bukanlah hal baru. Harapan kerap datang, namun realisasi berjalan lamban. Sementara itu, malam terus bergulir dalam kegelapan. Anak-anak terus berjuang menulis tugas sekolah dengan cahaya redup pelita, orang tua bekerja keras untuk membeli bahan bakar genset, dan pemuda mencari sinyal internet dari negara tetangga.

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, namun bagi warga di 10 desa di Kabupaten Alor, kata “merdeka” masih sebatas simbol, belum sepenuhnya hadir dalam kehidupan nyata.

(L6)

#Nasional #IndonesiaMerdeka