Breaking News

Vonis Korupsi Impor Gula: Tom Lembong Ajukan Banding, Nilai Putusan Sarat Kejanggalan Ideologis dan Fakta yang Diabaikan

Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kiri) dan salah satu kuasa hukumnya bersiap menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/app/bar

D'On, Jakarta
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau lebih dikenal sebagai Tom Lembong, resmi menyatakan akan mengajukan banding atas vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dalam kasus dugaan korupsi impor gula saat dirinya menjabat sebagai Menteri Perdagangan.

Keputusan banding ini dikonfirmasi oleh kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir. Ari menyebutkan bahwa pengajuan berkas banding akan dilakukan secara resmi pada Selasa, 22 Juli 2025. Baginya, bahkan jika vonis hanya satu hari penjara sekalipun, kliennya tetap akan mengajukan upaya hukum.

“Iya, sudah diputuskan kami akan banding hari Selasa. Dihukum satu hari saja, Pak Tom akan banding,” tegas Ari dalam keterangan tertulis, Senin (21/7/2025).

5 Kejanggalan Mendasar yang Disorot Tim Hukum

Menurut Ari, terdapat sedikitnya lima poin dalam putusan hakim yang dianggap sangat janggal, tidak berdasar hukum, dan bahkan cenderung memuat unsur ideologis yang tidak relevan dengan perkara hukum. Kelima poin tersebut menjadi dasar kuat bagi pihaknya untuk mengajukan banding.

1. Pertimbangan Ideologi Kapitalisme vs Pancasila

Salah satu hal yang dianggap paling mencolok adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Tom Lembong lebih mengedepankan ekonomi kapitalis daripada ekonomi Pancasila saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Pernyataan ini dimuat sebagai faktor yang memberatkan dalam vonis.

“Pertimbangan ini menunjukkan ketidakprofesionalan Majelis Hakim karena dibuat tidak berdasarkan fakta persidangan. Bahkan, dalam dakwaan dan tuntutan JPU tidak pernah disebut soal ekonomi kapitalis,” jelas Ari.

Ia menilai, memasukkan tafsir ideologi ekonomi sebagai faktor pemberat adalah preseden berbahaya dalam sistem hukum. “Ini tidak hanya absurd, tapi juga membuka pintu kriminalisasi kebijakan atas dasar tafsir ideologis,” tambahnya.

2. Tidak Ada Unsur Niat Jahat (Mens Rea)

Ari menyayangkan bahwa hakim tidak mempertimbangkan ketiadaan mens rea atau niat jahat dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa dalam seluruh rangkaian persidangan tidak ditemukan bukti kuat bahwa Tom Lembong memiliki intensi untuk memperkaya diri sendiri atau merugikan negara.

3. Tuduhan Lalai Mengawasi Pasar Gula

Putusan hakim menyebut Tom Lembong gagal melakukan pengawasan terhadap operasi pasar gula sebagai Menteri Perdagangan. Ari membantah keras hal ini.

“Pengawasan itu bukan domain menteri langsung. Tapi meskipun begitu, Pak Tom tetap melakukan pemantauan melalui BUMN seperti PT PPI dan melalui INKOPKAR,” ungkapnya.

Ia menilai tuduhan kelalaian ini terlalu dipaksakan, terutama karena disangkakan hanya karena evaluasi tak dilakukan dalam dua bulan pertama masa jabatan. “Bahkan kebijakan presiden baru pun biasanya diukur dalam 100 hari kerja,” tegas Ari.

4. Perhitungan Kerugian Negara yang Dipertanyakan

Tim hukum juga mengkritik dasar perhitungan kerugian negara dalam kasus ini. Menurut mereka, tak ada dasar akuntabel yang bisa menjelaskan angka kerugian secara transparan, dan hal ini perlu diuji ulang dalam proses banding.

5. Dampak Buruk bagi Pengambilan Kebijakan Publik

Ari menilai, vonis terhadap Tom Lembong bisa menjadi preseden buruk yang membuat para pejabat negara takut mengambil kebijakan strategis, terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang sensitif. Jika tidak ada batas tegas antara kebijakan dan tindak pidana, maka para pengambil keputusan akan lebih memilih bersikap pasif.

“Kami khawatir putusan ini akan membekukan semangat reformasi dan keberanian untuk mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat,” ujarnya.

Kronologi Kasus dan Vonis

Dalam putusan yang dibacakan Jumat, 18 Juli 2025, hakim menyatakan bahwa Tom Lembong bersalah dalam perkara korupsi impor gula dan memvonisnya dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Hakim menyebut Lembong telah memperkaya sejumlah perusahaan swasta yang mendapat izin impor gula selama ia menjabat.

Namun, majelis hakim juga mencatat beberapa hal yang meringankan, seperti:

  • Tom Lembong belum pernah dihukum sebelumnya.
  • Tidak terbukti menikmati hasil korupsi secara pribadi.
  • Bersikap sopan selama persidangan.
  • Telah menitipkan sejumlah dana ke Kejaksaan Agung sebagai bentuk tanggung jawab atas kerugian negara.

Catatan Akhir: Ujian bagi Peradilan dan Etika Kebijakan

Kasus ini bukan sekadar perkara korupsi, tetapi telah berkembang menjadi polemik tentang batas antara kesalahan administratif, pengambilan kebijakan, dan tindakan pidana. Ketika ideologi ekonomi dijadikan faktor hukum, muncul pertanyaan: apakah ini pembalasan politik tersembunyi atau benar-benar penegakan hukum murni?

Dengan pengajuan banding, Tom Lembong membuka babak baru perlawanan hukumnya. Publik kini menanti: akankah pengadilan tinggi mampu memisahkan antara ideologi dan keadilan? Atau justru memperkuat kekhawatiran bahwa jalur hukum semakin kabur antara hukum, politik, dan tafsir ideologis?

(Mond)

#TomLembong #Hukum #KorupsiImporGula