Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal 1998 Dikecam: “Melukai Korban, Lukai Sejarah!”
Mercy Christie Barends dari PDIP serahkan buku temuan pemerkosaan massal 98 ke Menbud Fadli Zon, Rabu (2/7/2025). Foto: YouTube Komisi X DPR
D'On, Jakarta — Suasana Rapat Kerja Komisi X DPR RI yang seharusnya berlangsung formal dan terstruktur berubah menjadi ruang perdebatan emosional yang membara. Sorotan tertuju pada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, usai pernyataannya yang meragukan kebenaran pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 memicu gelombang kemarahan dan kekecewaan mendalam.
Salah satu suara yang paling lantang datang dari anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends. Ia mengecam keras Fadli Zon yang mempertanyakan kebenaran terjadinya pemerkosaan secara massal pada akhir masa Orde Baru. Bagi Mercy, pernyataan itu bukan hanya keliru secara historis, tetapi juga melukai batin para penyintas dan aktivis perempuan yang selama puluhan tahun memperjuangkan pengakuan atas tragedi kemanusiaan tersebut.
"Saya Turun Langsung, Korban Itu Nyata!"
Dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7), Mercy mengungkapkan bahwa dirinya turun langsung bersama Komnas Perempuan ketika kekacauan sosial dan politik melanda Indonesia pasca lengsernya Soeharto.
"Kami bertemu dengan korban-korban dari Papua, dari Aceh, dan berbagai daerah. Tak satu pun berani bersuara karena tekanan dan represi yang luar biasa. Hal yang sama juga terjadi saat kerusuhan Mei ‘98," ujar Mercy dengan suara bergetar penuh emosi.
Dalam pernyataan yang sarat amarah dan kepedihan itu, Mercy menegaskan bahwa apa yang disampaikan Fadli Zon bukan sekadar opini akademik, melainkan pengingkaran terhadap luka sejarah bangsa.
"Kalau Bapak mempertanyakan apakah itu massal atau tidak, itu sangat melukai kami dan para korban. Ada aktivis perempuan yang ditembak, Pak, saat mereka mencoba menyuarakan kebenaran pada waktu itu," tegasnya.
Tuntut Permintaan Maaf: “Korban Itu Ada, Kami Saksinya!”
Tak berhenti di situ, Mercy secara terbuka menuntut permintaan maaf resmi dari Fadli Zon kepada para korban dan semua pihak yang terlibat dalam pendampingan korban kekerasan seksual 1998.
"Kami berharap ada permintaan maaf. Entah itu perorangan atau jumlah besar, Bapak menyebutnya bukan massal, tapi ini soal pengakuan. Karena korban benar-benar ada," katanya tegas.
Ia juga mengingatkan bahwa Komnas Perempuan tidak bisa mempublikasikan seluruh data korban secara rinci karena menyangkut harkat dan martabat para penyintas, yang saat itu mengalami trauma mendalam dan takut akan stigmatisasi.
Tiga Dokumen Bukti Diserahkan Langsung ke Fadli Zon
Dalam forum yang sama, Mercy Barends menyerahkan tiga dokumen penting kepada Fadli Zon sebagai rujukan utama untuk menyusun ulang pemahaman sejarah pemerkosaan massal yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998:
- Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie.
- Laporan Khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kekerasan seksual dalam konflik sosial-politik Indonesia.
- Dokumen “Membuka Kembali 10 Tahun Pasca Konflik” yang dirilis oleh Komnas Perempuan.
"Maka izinkan saya menyampaikan dokumen ini secara resmi kepada Pak Menteri," ucap Mercy, sambil menyerahkan dokumen-dokumen tersebut secara langsung kepada Fadli.
Fadli Zon menerima dokumen itu tanpa memberikan tanggapan panjang saat itu, namun sorot mata peserta rapat tampak tidak melepaskan perhatian darinya.
Pernyataan Kontroversial Fadli Zon: Sejarah atau Pengingkaran?
Polemik ini bermula dari pernyataan Fadli Zon di hadapan wartawan saat kunjungan ke Kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat pada Selasa (24/6). Fadli mengakui bahwa pemerkosaan memang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998, namun ia meragukan klaim bahwa tindakan tersebut terjadi secara sistematis dan massal.
"Pemerkosaan saya yakin terjadi. Tapi kalau disebut massal, itu artinya sistematik, terstruktur, dan masif. Seperti yang dilakukan tentara Serbia kepada perempuan Bosnia. Nah, apakah ada bukti seperti itu di Indonesia?" kata Fadli.
Sebagai doktor sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Fadli menyebut belum ada data atau investigasi resmi dari kepolisian yang membuktikan adanya pemerkosaan massal.
"Kalau memang ada, harus ada fakta-fakta hukum dan kajian akademik. Harus jelas siapa korbannya, di mana kejadiannya, mana laporannya. Sampai hari ini belum ada," imbuhnya.
Luka Sejarah Tak Bisa Disangkal
Pernyataan Fadli sontak membuka kembali luka lama yang hingga kini masih belum sepenuhnya diobati. Tragedi 1998 tidak hanya menumbangkan rezim Orde Baru, tetapi juga meninggalkan jejak kekerasan terhadap etnis Tionghoa dan perempuan yang tak pernah tertangani secara tuntas.
Komnas Perempuan mencatat bahwa selama kerusuhan Mei 1998, terdapat banyak laporan kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan brutal terhadap perempuan Tionghoa. Namun banyak korban memilih diam karena takut, trauma, dan tidak adanya jaminan hukum yang melindungi mereka.
Apakah Bangsa Ini Siap Mendengar Luka Para Perempuan?
Pertanyaan besar yang tersisa adalah: Apakah bangsa ini siap untuk membuka kembali lembaran sejarah kelam dan mendengarkan suara para penyintas yang selama ini dibungkam oleh waktu dan politik?
Polemik Fadli Zon dan Mercy Barends bukan sekadar perseteruan dua anggota dewan. Ini adalah pertempuran atas narasi sejarah dan kejujuran kolektif bangsa. Dan di balik debat yang berlangsung di ruang parlemen itu, ada luka-luka yang belum sembuh, dan kebenaran yang terus menunggu untuk diakui.
(K)
#FadliZon #DPR #Nasional #Perkosaan