Pasar Batusangkar Tak Aman, Pencopet Merajalela: Minimnya Petugas Pengelola Jadi Celah Aksi Kejahatan
Sesudut pemandangan Pasar Batusangkar pada hari Kamis (atas), kantong baju dan tas korban copet yang sobek dengan silet (bawah) (foto-sltd)
D'On, Batusangkar – Riuh rendah suasana pasar Batusangkar di hari Kamis yang dikenal sebagai “hari balai” bukan hanya menjadi magnet bagi para pembeli dan pedagang dari berbagai daerah. Sayangnya, keramaian itu juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan jalanan, terutama pencopet, yang dengan lihai menyelinap dan melancarkan aksinya di tengah hiruk pikuk transaksi jual beli.
Salah satu korbannya adalah DW (60), seorang ibu rumah tangga asal Tanah Datar. Kamis pagi (10/7/2025) itu, ia datang ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah tangga. Namun, alih-alih pulang membawa barang belanjaan dengan hati senang, ia justru harus menanggung kerugian yang tak sedikit serta trauma mendalam.
"Saya baru sadar setelah mau bayar belanjaan, ternyata tas saya sudah robek. Isinya semua hilang, termasuk dompet berisi uang dan dokumen-dokumen penting seperti KTP, SIM, ATM, sampai STNK," ujar DW dengan suara berat menahan kecewa saat diwawancarai media.
Ia mengaku, pelaku merobek tasnya menggunakan benda tajam, kemungkinan pisau silet. “Saya benar-benar tidak merasa apa-apa. Mungkin karena pasar sangat ramai, saya terlalu fokus memilih barang,” tambahnya. Kamis memang menjadi hari paling padat di Pasar Batusangkar. Jalanan di sekitar pasar bahkan dialihfungsikan sebagai lapak-lapak dadakan oleh pedagang lokal maupun luar daerah, sehingga ruang gerak semakin sempit dan potensi kejahatan pun meningkat.
DW sempat melapor ke kantor Pengelola Pasar, berharap ada tindakan cepat, minimal penelusuran atau pendataan. Namun harapannya pupus. Menurut pengakuannya, petugas hanya menerima laporan tanpa tindak lanjut berarti.
“Laporannya kami terima, tapi kami tidak bisa menindaklanjuti, karena kami tidak punya Satpol PP atau tenaga keamanan lainnya,” ujar DW menirukan jawaban petugas pasar. Kalimat itu bagai menegaskan bahwa para pelaku kejahatan memang bergerak di atas kelemahan sistem keamanan pasar.
Kejadian serupa juga dialami oleh seorang perempuan paruh baya dari Nagari Kubang Landai, Kecamatan Tanjung Emas. Di hari yang sama, ia menyadari bajunya robek bagian saku, baik di baju maupun celana. "Untung saja dompet saya disimpan lebih dalam, jadi tidak berhasil diambil," jelasnya. Meski tak kehilangan barang, ia merasa sangat terguncang atas upaya pencopetan itu.
Minim Personel, Keamanan Pasar Ditinggalkan Sendiri
Kondisi ini menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengamanan pasar. Minimnya personel pengelola yang memiliki wewenang dalam penegakan ketertiban menjadi titik rawan. Tidak adanya satuan pengamanan seperti Satpol PP, petugas keamanan pasar, atau bahkan sistem kamera pengawas (CCTV), membuat para pelaku kejahatan leluasa dan nyaris tanpa hambatan.
Ahyaul Ashar, SH, praktisi hukum asal Padang, menilai kejadian ini sebagai bukti lemahnya tata kelola keamanan pasar rakyat. Menurutnya, pengelolaan keamanan pasar seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, namun peran pengelola pasar sangat vital dalam membangun sistem keamanan yang preventif maupun responsif.
"Pasar itu tempat publik yang rentan kejahatan, jadi seharusnya ada strategi pengamanan yang sistematis. Minimal petugas keamanan tetap, penerangan yang memadai, pemasangan CCTV, dan sistem pelaporan yang responsif. Jika tidak ada, itu sama saja membiarkan masyarakat berbelanja dalam kondisi tidak aman,” ujarnya tegas.
Ia juga menyarankan agar pemerintah daerah, melalui Dinas Perdagangan dan Satpol PP, membentuk pos keamanan permanen di area pasar, terutama pada hari-hari pasar ramai. “Tidak bisa lagi mengandalkan kesadaran pengunjung saja. Kalau pengelola dan aparat tak bergerak, ini akan jadi kebiasaan yang membahayakan,” pungkasnya.
Pasar Rakyat Butuh Kepastian Rasa Aman
Kejadian pencopetan yang menimpa dua perempuan dalam satu hari di pasar yang sama seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pengelola pasar. Pasar sebagai pusat aktivitas ekonomi rakyat tidak boleh dibiarkan menjadi lahan empuk bagi pelaku kejahatan yang mengeksploitasi kerumunan dan lemahnya pengawasan.
DW berharap ada perubahan nyata dari pihak pengelola dan pemerintah. “Saya cuma mau ini tidak terjadi lagi. Bukan cuma rugi materi, tapi trauma itu yang berat. Sekarang saya takut ke pasar sendiri,” katanya.
Kejadian ini menunjukkan bahwa meskipun pasar adalah ruang publik yang inklusif, rasa aman di dalamnya belum dijamin. Ketika kepercayaan pengunjung luntur, bukan hanya korban yang dirugikan pedagang kecil pun kehilangan pembeli. Dan jika ini terus berlanjut, perlahan tapi pasti, denyut ekonomi rakyat akan ikut melemah di tengah bayang-bayang rasa takut.
(sltd/hen)
Editor: Redaksi Dirgantara
#Kriminal #Copet #PasarBatusangkar