Ombudsman Soroti Monopoli Seragam Sekolah di Padang: Langgar Aturan, Berpotensi Masuk Ranah Pidana
Ilustrasi Seragam Sekolah
D'On, Padang — Praktik monopoli dalam pengadaan seragam sekolah kembali mencuat di Kota Padang. Dugaan ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, namun telah berkembang menjadi persoalan serius yang mengundang perhatian Ombudsman Republik Indonesia (RI) Perwakilan Sumatera Barat. Tak tanggung-tanggung, lembaga pengawas pelayanan publik tersebut menilai praktik ini berpotensi melanggar hukum dan merugikan banyak pihak, khususnya para wali murid dan pedagang seragam lokal.
Fenomena ini kembali menjadi sorotan setelah laporan terbaru masuk ke Ombudsman Sumbar dari para pedagang seragam di Kota Padang. Mereka mengaku dirugikan oleh kebijakan sejumlah sekolah yang secara sepihak mewajibkan pembelian seragam dari pihak atau vendor tertentu.
Dugaan Praktik Lama yang Terstruktur
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumbar, Adel Wahidi, dalam keterangannya pada Sabtu (6/7), mengungkap bahwa praktik semacam ini bukan hal baru. Ia menyebut, kebijakan penunjukan vendor tunggal atau pembatasan tempat pembelian seragam sudah terjadi sejak lama. Namun, baru dalam beberapa tahun terakhir fenomena ini terungkap lebih luas ke publik.
“Ini fenomena lama yang baru terendus. Dalam setahun terakhir kami sudah menyurati Dinas Pendidikan Provinsi, Pemerintah Kota Padang, serta Kementerian Agama untuk segera mengeluarkan surat edaran pelarangan praktik semacam ini,” ujar Adel tegas.
Menurutnya, langkah tegas ini penting untuk memutus mata rantai praktik yang kian merugikan masyarakat.
Langgar PP dan Permendikbud
Adel Wahidi menegaskan bahwa pengadaan seragam sekolah bukanlah wewenang pihak sekolah, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua atau wali murid. Hal ini secara eksplisit diatur dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, yang hanya memberikan pedoman mengenai spesifikasi seragam, bukan pengadaan atau distribusinya.
Lebih jauh, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 menegaskan larangan kepada satuan pendidikan, guru, maupun organisasi di lingkungan sekolah untuk melakukan praktik penjualan barang kepada siswa termasuk seragam, bahan seragam, dan buku.
“Siapa pun di sekolah, atas nama sekolah, tidak memiliki legalitas untuk terlibat dalam bisnis pengadaan seragam. Itu jelas melanggar aturan,” tandas Adel.
Potensi Uang Mengalir Ratusan Juta per Sekolah
Data lapangan yang dihimpun Ombudsman RI Perwakilan Sumbar menunjukkan adanya potensi aliran dana yang sangat besar dalam praktik ini. Untuk satu sekolah menengah dengan jumlah siswa baru antara 400 hingga 500 orang, total dana yang dihimpun dari penjualan seragam bisa mencapai Rp 600 juta hingga Rp 700 juta.
“Jika praktik ini dijalankan secara sistematis dan diarahkan hanya kepada satu pihak penyedia tertentu, maka ini bukan lagi sekadar maladministrasi. Ada indikasi kuat pemaksaan dan pengaturan yang menguntungkan pihak tertentu. Ini sudah bisa masuk ke ranah pidana,” ungkap Adel.
Pedagang Lokal Terdampak, Wali Murid Mengeluh
Di sisi lain, pedagang seragam lokal di Padang turut bersuara. Mereka mengaku kehilangan pelanggan karena para wali murid diarahkan untuk membeli seragam ke toko tertentu yang diduga ‘ditunjuk’ sekolah. Padahal, tidak semua orang tua setuju dengan harga atau kualitas yang ditawarkan.
Sejumlah wali murid yang enggan disebut namanya juga menyampaikan keluhan. Mereka merasa terpaksa mengikuti kebijakan sekolah karena khawatir anak mereka mendapat perlakuan berbeda jika membeli seragam dari luar.
“Saya ditunjukkan satu toko untuk beli semua seragam lengkap. Kalau tidak dari situ, takutnya nanti anak saya disuruh ganti lagi. Harga juga lebih mahal dari toko biasa,” keluh salah satu orang tua siswa di Padang.
Ombudsman Minta Pemerintah Bertindak Tegas
Menanggapi situasi ini, Ombudsman mendesak Dinas Pendidikan di semua tingkatan, termasuk Kementerian Agama, untuk segera mengeluarkan kebijakan yang melarang secara tegas praktik pengadaan seragam oleh sekolah. Mereka juga meminta adanya pengawasan menyeluruh terhadap implementasi aturan tersebut, agar tidak hanya berhenti pada tataran administratif.
Adel Wahidi menyatakan, pihaknya akan terus mengawal isu ini dan tidak menutup kemungkinan membawa kasus-kasus tertentu ke ranah hukum apabila ditemukan indikasi kuat pelanggaran.
“Kami tidak ingin generasi muda tumbuh dalam sistem pendidikan yang diwarnai praktik-praktik yang tidak etis. Pendidikan adalah ruang yang harusnya bersih dari kepentingan bisnis,” tutupnya.
Catatan: Kasus ini kembali menegaskan pentingnya transparansi dan integritas dalam sistem pendidikan, terutama dalam hal yang menyangkut beban ekonomi bagi orang tua. Ombudsman RI telah membuka saluran pengaduan bagi masyarakat yang mengalami masalah serupa, sebagai bentuk pengawasan publik terhadap pelayanan yang seharusnya inklusif dan tidak diskriminatif.
(Mond)
#Pendidikan #OmbudsmanRI #SumateraBarat #SeragamSekolah