Breaking News

Ngeri! Anak Main Gadget Lebih dari 4 Jam Sehari Berisiko Terlambat Bicara, Ini Penjelasan Ahli

Ilustrasi Anak Main Gadget 

Dirgantaraonline —
Di era digital seperti sekarang, penggunaan gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari termasuk bagi anak-anak. Tak sedikit orangtua yang merasa terbantu oleh keberadaan video edukatif dan konten interaktif di YouTube, TikTok, atau aplikasi belajar lainnya. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi risiko serius yang bisa mengancam tumbuh kembang si kecil.

Sebuah temuan mengejutkan datang dari DR. Dr. Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH, seorang dokter spesialis anak dan pakar perkembangan anak. Dalam penelitiannya, Dr. Bernie mengungkapkan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktu lebih dari 4 jam per hari di depan layar (screen time) memiliki risiko hingga empat kali lebih besar mengalami keterlambatan bicara (speech delay) dibandingkan anak-anak yang screen time-nya lebih sedikit.

“Awalnya kami meneliti anak-anak Indonesia dengan batas screen time dua jam per hari, tapi hampir semua anak ternyata melewati batas tersebut. Akhirnya kami analisis lebih lanjut pada batas empat jam, dan hasilnya sungguh mengkhawatirkan,” ujar Dr. Bernie dalam pernyataannya, Minggu (6/7/2025).

Dampak Screen Time Berlebihan Tak Hanya Bicara

Penelitian yang telah dipublikasikan sejak 2017 ini bukan hanya menyoroti gangguan kemampuan bicara. Lebih jauh, ditemukan bahwa screen time yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan emosi, kemampuan sosial, serta konsentrasi belajar anak.

Anak yang terlalu sering berinteraksi dengan layar cenderung pasif secara sosial. Mereka lebih banyak menerima stimulus visual tanpa melakukan percakapan dua arah, yang sangat penting untuk perkembangan bahasa dan empati. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan keterlambatan dalam memahami ekspresi, kesulitan menjalin hubungan sosial, hingga masalah perilaku.

“Interaksi dua arah itu kunci utama perkembangan bahasa dan emosi. Kalau anak cuma nonton video, meskipun edukatif, itu tetap interaksi satu arah. Anak tidak diajak bicara, tidak diajak berpikir, hanya jadi penonton pasif,” terang Dr. Bernie.

Rekomendasi Ketat dari American Academy of Pediatrics (AAP)

Kekhawatiran ini juga sejalan dengan pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP), yang secara tegas memberikan batasan screen time berdasarkan usia anak:

  • Bayi di bawah 18 bulan: Tidak diperbolehkan menggunakan perangkat digital sama sekali, kecuali saat melakukan video call dengan orangtua atau keluarga.
  • Anak usia 18 bulan hingga 2 tahun: Jika diperkenalkan ke media digital, orangtua harus mendampingi dan memastikan kontennya bersifat edukatif.
  • Anak usia 2 hingga 5 tahun: Screen time yang tidak bersifat pendidikan dibatasi maksimal 1 jam per hari pada hari kerja, dan 3 jam saat akhir pekan.

Dr. Bernie menekankan bahwa pedoman tersebut mengacu pada kondisi ideal. Namun dalam praktiknya di Indonesia, banyak orangtua yang justru memberikan gawai secara bebas sejak anak berusia sangat dini, seringkali sebagai ‘penenang’ agar anak tidak rewel.

“Sekarang ini, bayi umur setahun saja sudah bisa buka YouTube sendiri. Padahal secara perkembangan otaknya, mereka belum siap untuk menerima begitu banyak stimulasi visual tanpa konteks,” ungkap Dr. Bernie.

Alternatif yang Lebih Sehat: Ajak Anak Bermain dan Berinteraksi

Daripada menggantungkan ketenangan anak pada layar gadget, para orangtua dianjurkan untuk kembali ke aktivitas tradisional yang lebih sehat dan merangsang perkembangan anak, seperti:

  • Membacakan buku cerita bersama anak
  • Bermain peran atau permainan fisik yang melibatkan imajinasi dan motorik
  • Mengajak anak ke taman bermain untuk bersosialisasi dan mengenal lingkungan
  • Melatih anak berbicara dengan dialog interaktif, meski sederhana

Tak perlu peralatan canggih atau aplikasi mahal. Yang paling penting adalah waktu berkualitas dan keterlibatan emosional antara anak dan orangtua.

“Anak belajar bicara dari interaksi. Bukan dari menonton. Waktu orangtua sangat berharga, apalagi di usia emas anak 0–5 tahun. Itu masa kritis perkembangan otak dan bahasa,” tutup Dr. Bernie.

Gadget Boleh, Tapi Jangan Jadi Pengasuh

Gadget bukan musuh, namun penggunaan yang tidak terkontrol bisa menjadi bumerang bagi tumbuh kembang anak. Para pakar sepakat bahwa edukasi digital bisa menjadi pelengkap, tapi bukan pengganti komunikasi nyata. Kunci utamanya ada di tangan orangtua berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk berinteraksi langsung dengan anak mereka, tanpa layar di antara mereka.

(Okz)

#SpeechDelay #Parenting #Gadget