MA Kabulkan PK Setya Novanto: Vonis Korupsi e-KTP Dipotong Jadi 12,5 Tahun, Buka Babak Baru Kontroversi
Sidang Setya Novanto Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
D'On, Jakarta – Drama hukum panjang yang menyelimuti mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, kembali mencuri perhatian publik. Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Setnov sapaan akrabnya terkait vonis kasus mega korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sempat mengguncang Tanah Air.
Dalam amar putusan yang tertera di situs resmi MA pada Rabu, 2 Juli 2025, majelis hakim menyatakan bahwa Setnov tetap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun, yang mencengangkan adalah perubahan signifikan dalam vonis: hukuman penjara Setnov dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.
“Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan serta pidana denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan,” demikian kutipan amar putusan yang diunggah oleh MA.
Revisi Vonis: Keuntungan Bagi Terpidana, Pertanyaan Bagi Publik
Pemotongan masa hukuman ini sontak memicu perdebatan di tengah masyarakat. Publik mempertanyakan urgensi dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar majelis hakim dalam mengabulkan PK tersebut. Mengingat, kasus e-KTP adalah salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia yang merugikan negara hingga Rp 2,6 triliun.
Dalam perkara ini, Setnov dinyatakan terbukti menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta serta sebuah jam tangan mewah merek Richard Mille RM011 yang ditaksir bernilai USD 135 ribu. Vonis awal yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 April 2018 lalu mencakup pidana penjara 15 tahun, denda, serta kewajiban membayar uang pengganti setara dengan jumlah yang ia terima.
MA menyebut bahwa dari kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta, Setnov telah menyetor sekitar Rp 5 miliar. Namun masih tersisa sebesar Rp 49.052.289.803, yang apabila tidak dibayar akan digantikan dengan pidana tambahan 2 tahun penjara.
Dihukum Tambahan Larangan Jabatan Publik
Tak hanya itu, Setnov juga dijatuhi hukuman tambahan berupa larangan menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah menyelesaikan masa pidana pokoknya. Sanksi ini dianggap penting dalam mencegah kembalinya figur-figur terpidana korupsi ke arena politik nasional.
Sudah Menjalani 7,5 Tahun Hukuman
Setnov mulai ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 17 November 2017, dan kemudian dipindahkan ke Lapas Sukamiskin pada 4 Mei 2018 setelah vonisnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, hingga saat ini, ia telah menjalani masa tahanan selama sekitar 7,5 tahun, atau lebih dari separuh masa pidana yang baru dijatuhkan dalam putusan PK.
Menariknya, permohonan PK ini diajukan hanya sekitar satu tahun setelah vonis dijatuhkan, menandakan bahwa Setnov dan tim kuasa hukumnya telah mempersiapkan strategi hukum sejak dini guna menurunkan masa pidana.
Kilas Balik Skandal e-KTP
Kasus e-KTP adalah simbol betapa dalamnya praktik korupsi terstruktur di tubuh birokrasi Indonesia. Proyek nasional yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan sistem kependudukan digital ini justru berubah menjadi ladang bancakan sejumlah elit politik dan pengusaha.
Nama Setnov mencuat sebagai aktor kunci yang berperan dalam pengaturan proyek serta aliran dana ke berbagai pihak. Saat proses hukum berjalan, Setnov sempat menciptakan drama yang dikenal luas publik dari insiden “tiang listrik” yang melibatkan kecelakaan mobil, hingga aksi pura-pura sakit yang berujung pada meme dan sindiran tajam dari masyarakat.
Pertanyaan Publik: Apakah Keadilan Masih Tegak?
Dengan pengurangan masa hukuman ini, muncul pertanyaan besar di tengah masyarakat: Apakah sistem peradilan benar-benar berpihak pada pemberantasan korupsi, atau mulai lunak pada elit? Banyak pihak mendesak agar MA memberikan transparansi lebih soal alasan pengabulan PK Setnov.
Di sisi lain, para pengamat hukum menyatakan bahwa MA memang memiliki kewenangan untuk mengabulkan PK, terutama jika ditemukan bukti baru (novum) atau kekeliruan dalam penerapan hukum. Namun, dalam kasus yang melibatkan tokoh dengan jejak panjang kontroversi seperti Setnov, keputusan semacam ini tak bisa dilepaskan dari sorotan publik.
Keputusan Mahkamah Agung ini membuka kembali babak baru dalam perjalanan hukum Setya Novanto. Meski vonisnya telah dipotong, ingatan publik akan skandal e-KTP tak akan mudah terhapus. Kini, tinggal waktu yang akan menjawab: apakah keadilan benar-benar ditegakkan, atau hanya menjadi formalitas yang bisa dinegosiasikan di ruang-ruang sidang.
(K)
#MahkamahAgung #Hukum #KorupsiEKTP #SetyaNovanto