Breaking News

Dihormati Belanda, Dikhianati Bangsanya Sendiri: Tragisnya Akhir Kapitan Pattimura

Ilustrasi Kapiten Pattimura 

Dirgantaraonline
- Di antara gelombang sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, nama Kapitan Pattimura menjulang sebagai simbol keberanian, perlawanan, dan martabat. Ia adalah seorang pemuda Maluku, Thomas Matulessy, yang memilih jalan berisiko tinggi: memimpin bangsanya melawan kekuatan kolonial Belanda pada tahun 1817. Namun, kisah hidupnya tak berakhir di medan kemenangan ia harus menelan pil pahit pengkhianatan dari bangsanya sendiri, sebuah tragedi yang merobek hati sejarah.

Awal Perlawanan: Bara Perjuangan di Maluku

Lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah, pada tahun 1783, Thomas Matulessy tumbuh dalam keluarga Protestan yang taat. Ia memiliki latar belakang militer, pernah menjadi sersan dalam angkatan bersenjata Inggris ketika wilayah Maluku berada di bawah kendali Inggris pada awal abad ke-19. Ketika Inggris menyerahkan kembali wilayah ini kepada Belanda pada 1816, situasi rakyat memburuk drastis. Penindasan, pemerasan, dan sistem kerja paksa menjadi pemandangan sehari-hari.

Rakyat Maluku tak bisa tinggal diam. Pada Mei 1817, Thomas Matulessy bangkit dan menggalang kekuatan rakyat. Dengan strategi militer yang matang dan kepemimpinan karismatik, ia berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua—simbol kekuasaan Belanda di kawasan tersebut. Dalam serangan itu, Residen Belanda Johannes Rudolf van den Berg dan hampir seluruh pasukannya tewas. Peristiwa ini mengguncang pemerintahan kolonial dan membuat Pattimura menjadi ancaman serius bagi kekuasaan Belanda.

Simbol Perlawanan yang Tak Tertandingi

Dalam waktu singkat, Pattimura menjadi sosok legendaris. Ia bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga pemimpin spiritual dan politik yang menginspirasi rakyat. Ia memimpin perlawanan rakyat di berbagai wilayah Maluku, termasuk Pulau Haruku, Nusalaut, dan Seram. Pemerintah kolonial bahkan menyebutnya dalam laporan sebagai "musuh utama Belanda di Maluku."

Namun, kekuatan kolonial Belanda terlalu besar untuk dilawan tanpa logistik dan koordinasi militer yang memadai. Meski pasukannya terus bertempur dengan semangat, suplai senjata dan makanan mulai menipis. Dalam keadaan genting itu, sebuah pengkhianatan menjadi titik balik perjuangan.

Booi, Pengkhianat yang Mengubah Segalanya

Menurut Ong Hok Ham, sejarawan terkemuka Indonesia, serta dokumen resmi yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), penangkapan Pattimura pada 11 November 1817 bukan karena kekuatan senjata Belanda, melainkan karena pengkhianatan. Booi, kepala kampung dari Siri Sori, adalah sosok yang membuka jalan bagi Belanda untuk menangkap Pattimura. Booi sebelumnya dikenal dekat dengan perjuangan rakyat, bahkan dikabarkan pernah berjanji setia pada kepemimpinan Pattimura.

Namun, godaan kekuasaan dan janji keselamatan pribadi membuat Booi berubah haluan. Ia diam-diam bersekongkol dengan Belanda, memberi informasi strategis, hingga akhirnya membantu menjebak Pattimura saat dalam perjalanan dari satu pos ke pos lain. Pattimura ditangkap tanpa sempat melawan.

Dihormati Musuh, Dikhianati Saudara

Tragedi ini menyayat hati. Setelah ditangkap, Pattimura dibawa ke Ambon untuk diadili oleh pengadilan militer Belanda. Meski sebagai musuh, pejabat kolonial mengakui keberanian, integritas, dan jiwa kepemimpinannya. Bahkan Gubernur Jenderal Van der Capellen mengungkapkan dalam surat resminya bahwa "Pattimura adalah musuh yang layak dihormati."

Namun, kekaguman itu tak mampu menyelamatkannya dari hukuman mati. Pada 16 Desember 1817, di hadapan rakyat yang diam membisu, Thomas Matulessy—Kapitan Pattimura—digantung di pelataran Benteng Victoria, Ambon. Tubuhnya tak gemetar sedikit pun. Ia menatap tali gantungan dengan tenang, seolah ingin mengabarkan bahwa perjuangannya belum berakhir.

Dalam catatan lisan masyarakat Ambon, sebelum dieksekusi, Pattimura berkata lantang:

"Beta mati, tapi akan datang seribu Pattimura lain!"

Kalimat itu menggema hingga kini, menjadi semangat perjuangan generasi demi generasi.

Tragedi Nasional: Ketika Saudara Menjual Kemerdekaan

Yang paling menyakitkan dari kisah ini adalah fakta bahwa bukan senapan Belanda yang mengakhiri hidup Pattimura, melainkan pengkhianatan dari seseorang yang seharusnya berada di pihak rakyat. Kisah Booi mengingatkan kita bahwa dalam setiap perjuangan, musuh dari dalam negeri sendiri bisa lebih mematikan daripada penjajah asing.

Sejarawan seperti Titaley dan Manusama juga mencatat bahwa pengkhianatan dalam perjuangan rakyat Maluku tak hanya terjadi pada Pattimura, tapi juga beberapa tokoh perlawanan lainnya. Kepentingan pribadi, ambisi kekuasaan, dan rasa takut menjadi pemicu utama.

Ironisnya, Belanda sendiri sempat menyarankan agar Pattimura diasingkan ke Batavia atau Belanda, alih-alih dieksekusi, karena mereka menilai ia bisa menjadi sosok pemimpin potensial di bawah kendali kolonial. Namun keputusan akhir tetap jatuh pada eksekusi, karena khawatir pengaruhnya terlalu besar di kalangan rakyat Maluku.

Warisan Abadi dan Luka Sejarah

Kini, nama Pattimura diabadikan di berbagai tempat—bandara, universitas, jalan raya, bahkan pada lembaran uang rupiah. Namun di balik penghormatan itu, tersembunyi luka sejarah: seorang pahlawan yang mati bukan hanya karena penjajah, tapi juga karena saudara sendiri yang mengkhianatinya.

Kisah ini bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah cermin bagi kita hari ini. Bahwa kemerdekaan dan perjuangan bukan hanya soal melawan penjajah dari luar, tetapi juga tentang melawan pengkhianatan, ketamakan, dan pengabaian terhadap cita-cita bangsa sendiri.

"Beta mati, tapi akan datang seribu Pattimura lain."

Pesan itu bukan hanya seruan perlawanan. Ia adalah doa dan peringatan, bahwa bangsa ini harus menjaga api perjuangan, dan tak pernah membiarkan sejarah yang pahit itu terulang kembali.

Referensi dan Rujukan Sejarah:

  • Ong Hok Ham, “Runtuhnya Hindia Belanda”, 1998
  • Dokumen Perjuangan Pattimura, Arsip Nasional RI
  • Manusama, "Perlawanan Rakyat Maluku", Jurnal Sejarah Indonesia, 2003
  • Titaley, "Dinamika Perlawanan di Maluku Abad 19", 2011
  • Lontar-lontar dan catatan rakyat Maluku (Tradisi lisan)

Penulis: Osmond Abu Khalil 

#Sejarah #KapitenPattimura