Breaking News

Teheran Berdarah: Ratusan Warga Sipil Tewas Dihantam Rudal, Israel Klaim ‘Tak Sasar Warga’

Seorang pria yang terluka mendapat pertolongan di jalan setelah ledakan di pusat kota Teheran, di tengah serangan Israel terhadap Iran, Minggu, 15 Juni 2025. (AP/AP)

D'On, Teheran, Iran –
Langit malam Teheran kini bukan lagi tempat bintang bertaburan, melainkan tempat rudal saling berseliweran. Api, debu, dan tangisan menggantikan kedamaian yang dulu menyelimuti ibu kota Iran. Sejak Jumat malam, 13 Juni 2025, kota berpenduduk 9 juta jiwa itu berubah menjadi ladang kematian, ketika gelombang serangan udara Israel menghujani kawasan padat penduduk.

Meski pemerintah Israel menyatakan bahwa serangan mereka "hanya menyasar target militer", kenyataan di lapangan berkata lain: ratusan warga sipil, termasuk anak-anak, wanita, dan lansia, tewas di bawah puing-puing rumah yang mereka sebut tempat perlindungan.

Satu Kota, Banyak Nisan

Salah satu simbol paling memilukan dari tragedi ini adalah jasad Tara Hajimiri, bocah perempuan berusia 8 tahun yang dikenal di lingkungannya sebagai gadis ceria pecinta tari tradisional dan senam. Sebuah video yang beredar luas menunjukkan Tara sedang menari dengan gaun merah di klinik gigi tempat ibunya bekerja video yang kini menjadi pusara virtual untuk mengenang keceriaannya. Tara tewas pada Sabtu dini hari, 14 Juni, saat sebuah rudal menghantam apartemen tempat tinggalnya di Jalan Patrice Lumumba, menewaskan sedikitnya 60 orang lainnya.

Di Jalan Ozgol, wilayah yang dikenal tenang di timur Teheran, Niloufar Ghalehvand (32), instruktur pilates, tewas bersama kedua orang tuanya setelah sebuah rudal merobek rumah mereka. Lokasi ini hanya beberapa ratus meter dari kediaman Jenderal Mohammad Bagheri, yang diduga menjadi target utama. Tapi seperti banyak warga lainnya, Ghalehvand bukan target militer. Ia hanyalah seorang perempuan biasa yang menghabiskan hari-harinya membantu orang menemukan kesehatan dan ketenangan dalam gerak tubuh.

Tak jauh dari situ, di kawasan Shahrara, Parsa Mansour (27), pemain tenis padel berbakat, meregang nyawa ketika ledakan meruntuhkan dinding rumahnya. Ayahnya ditemukan selamat, namun harus menghadapi kenyataan bahwa satu-satunya anaknya telah pergi untuk selamanya. “Ia tidak bicara. Hanya menatap kosong,” ujar Sama, sahabat Parsa.

Teheran Terbakar, Warga Terperangkap

Tidak ada tempat yang aman. Di Timur Teheran, Amin Ahmad (30), atlet Taekwondo, menyaksikan ayahnya terbakar hidup-hidup. "Wajahnya hangus, telinganya robek, rumah kami jadi abu. Ia seorang guru—menghabiskan seluruh hidupnya membangun rumah itu untuk keluarga," katanya dalam suara yang nyaris tak terdengar.

Di utara, di kawasan Tajrish yang dulu damai, fotografer lepas Ehsan Bayrami (35) pulang kerja dan berpesan kepada temannya, “Siang hari aman, rudal hanya datang malam.” Tapi pada malam itu, ia salah. Rudal Israel menghantam jalanan tempat ia melangkah. Ia tewas seketika.

Rasa aman telah berubah menjadi ilusi. Warga berbondong-bondong mengungsi keluar kota. Pompa bensin diserbu, jalanan lumpuh oleh antrean kendaraan, dan keluarga-keluarga mencari perlindungan entah ke mana. Rumah-rumah yang dulu menjadi pelabuhan, kini menjadi liang kubur tanpa sistem peringatan dini.

Perang yang Mengoyak Nurani

Data terakhir dari Kementerian Kesehatan Iran menyebutkan 225 orang tewas dan 1.480 lainnya terluka, sebagian besar luka berat. Juru bicara kementerian, Hossein Kermanpour, mengatakan bahwa 90 persen korban adalah warga sipil. Namun sejak 15 Juni, data resmi belum diperbarui—jumlah korban diduga terus bertambah di tengah kekacauan sistem medis.

Sementara itu, Israel hanya melaporkan 24 korban jiwa dan sekitar 800 luka-luka akibat serangan balasan dari Iran. Namun, tidak satu pun pejabat Israel yang secara terbuka menanggapi laporan kematian anak-anak seperti Tara, atau hancurnya rumah-rumah sipil di tengah kota.

Pemakaman di Tengah Dentuman Rudal

Di berbagai penjuru Iran, pemakaman berlangsung hampir setiap hari bahkan saat sirene dan dentuman rudal masih terdengar. Di Teheran utara, pelayat berbaris dalam pakaian hitam mengiringi peti mati Niloufar Ghalehvand yang dibalut bendera Iran. Klub olahraganya menuliskan pesan terakhir: “Kami akan selalu mengenangmu. Katakan tidak pada perang.”

Namun bagi banyak warga Iran, kalimat itu terasa getir. Karena perang kali ini, seperti yang mereka katakan, bukan lagi terjadi di perbatasan. Ini adalah perang yang mengetuk langsung pintu rumah mereka.

(*)

#Internasional #Iran #AgresiIsrael