Hakim MK Arief Hidayat: Bung Karno Itu Setengah Nabi, Pemikir Visioner Penjaga Keutuhan Indonesia
Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat memimpin sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
D'On, Jakarta – Sosok Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, kembali menjadi perbincangan hangat dalam sebuah diskusi kebangsaan yang digelar di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta Selatan, Senin (30/6). Bukan dari tokoh politik atau sejarawan, pujian tinggi kali ini datang dari seorang hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, yang menyebut Bung Karno sebagai figur luar biasa bahkan menyebutnya sebagai “setengah Nabi”.
Pernyataan ini bukan sekadar pujian kosong. Bagi Arief, Soekarno bukan hanya pemimpin revolusioner yang memerdekakan bangsa, tetapi juga sosok dengan pandangan jauh ke depan, yang mampu merumuskan dasar negara Indonesia Pancasila sebagai fondasi perekat bangsa dalam jangka panjang.
“Bung Karno bagi saya itu setengah Nabi. Visioner sekali. Dan betul, apa yang disampaikan Bung Karno soal Pancasila kini terbukti menjaga keutuhan bangsa,” ujar Arief penuh keyakinan, disambut antusiasme peserta seminar.
Kisah Bung Karno dan Tito: Dua Jalan Berbeda, Dua Nasib Berbeda
Dalam forum yang dipenuhi kader muda partai itu, Arief kemudian mengenang sebuah kisah historis: pertemuan antara Soekarno dan Presiden Yugoslavia kala itu, Josip Broz Tito. Pertanyaan Tito kepada Soekarno menjadi momen yang membekas dan menunjukkan kedalaman visi sang proklamator.
“Pak Tito bertanya, ‘Kalau Tuan Sukarno suatu saat sudah tiada, warisan apa yang Anda tinggalkan untuk Republik Indonesia?’,” tutur Arief menirukan percakapan dua pemimpin besar abad ke-20 tersebut.
Jawaban Bung Karno, kata Arief, bukan tentang senjata, kekuasaan, atau kekayaan. Melainkan satu konsep yang digali dari akar sejarah dan budaya bangsa sendiri:
“Saya sudah meninggalkan Pancasila, yang saya gali dari bumi Nusantara,” jawab Soekarno, seperti dikutip Arief.
Di sinilah, menurut Arief, tampak jelas keistimewaan Bung Karno. Ia tidak membangun Indonesia di atas pondasi kekuatan militer atau ideologi impor. Ia menyusun falsafah negara yang lahir dari sejarah panjang peradaban bangsa Indonesia dari nilai-nilai luhur, musyawarah, gotong royong, dan keberagaman.
Antara Indonesia dan Yugoslavia: Jejak Dua Bangsa di Persimpangan Sejarah
Arief menegaskan bahwa jawaban Bung Karno itu bukan sekadar wacana, tapi telah terbukti dalam sejarah kontemporer. Lima dekade setelah percakapan itu, dunia menyaksikan dua kenyataan yang sangat kontras.
Yugoslavia, negara yang dulu berdiri kokoh di bawah Tito, terpecah menjadi sembilan negara kecil setelah konflik etnis dan perang saudara pasca-Tito wafat. Sedangkan Indonesia, yang sama-sama beragam dan kompleks, justru tetap utuh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Setelah 50 tahun, siapa yang terbukti benar? Bung Karno,” kata Arief dengan nada tegas. “Yugoslavia pecah jadi sembilan negara kecil, saya sudah berkunjung ke lima di antaranya. Tapi Indonesia? Masih berdiri tegak sebagai NKRI. Itu semua karena Pancasila.”
Pancasila, Warisan Bung Karno yang Tak Lekang oleh Zaman
Arief menutup paparannya dengan penekanan bahwa Pancasila bukan sekadar simbol atau jargon politik. Ia adalah ideologi hidup yang menjadi “lem” pemersatu bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Menurutnya, kesadaran akan pentingnya warisan Bung Karno harus terus ditanamkan pada generasi muda. Sebab, tantangan zaman akan terus berubah, namun nilai-nilai Pancasila akan selalu relevan.
“Kalau bukan karena Pancasila, mungkin kita sudah pecah sejak dulu. Kita ini negara besar, beragam suku, agama, budaya. Tapi kita tetap satu. Karena ada dasar yang mempersatukan: Pancasila.”
Dengan semangat itulah, Arief berharap agar masyarakat Indonesia, terutama para pemimpin masa depan, mampu merawat dan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana Bung Karno pernah cita-citakan, bukan sekadar sebagai warisan sejarah, tapi sebagai tuntunan masa depan.
(K)
#Pancasila #Nasional #ArifHidayat #BungKarno #MahkamahKonstitusi