DPR Soroti Putusan MK Soal Pemilu: Dianggap Bikin Norma Baru, Potensi Langgar Konstitusi
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025). Foto: Youtube/ TVR Parlemen
D'On, Jakarta – Komisi II DPR RI tengah melakukan kajian serius terhadap putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai membawa implikasi besar terhadap sistem pemilu Indonesia ke depan. Tak hanya soal teknis penyelenggaraan, tapi juga menyangkut arah demokrasi dan penghormatan terhadap prinsip negara hukum yang konstitusional.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan keprihatinannya atas kecenderungan MK yang, menurutnya, mulai melampaui batas kewenangan sebagai negative legislature. Dalam prinsip hukum tata negara modern, MK seharusnya sebatas menguji konstitusionalitas sebuah norma hukum, bukan menciptakan norma baru.
"MK itu tugasnya hanya menguji, bukan mengganti tugas pembuat undang-undang. Tapi dalam putusan terakhir ini, mereka justru memosisikan diri seperti positive legislature. Bukan hanya membatalkan norma, tapi juga membuat norma baru," tegas Rifqi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (30/6).
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, arah putusan MK yang menetapkan jadwal pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah tanpa melibatkan DPR sebagai pembentuk undang-undang, berpotensi menciptakan konflik konstitusional.
Putusan MK yang Dianggap Bermasalah
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional yang meliputi Pilpres, DPR, dan DPD wajib dilaksanakan secara serentak. Sementara pemilu daerah yakni Pilkada, serta pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota harus dilakukan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pelantikan pejabat eksekutif hasil pemilu nasional.
Masalahnya, menurut Rifqi, MK seolah langsung memilih satu model keserentakan tanpa membuka ruang diskusi lebih lanjut, padahal sebelumnya, MK sendiri dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah menyodorkan enam opsi keserentakan pemilu yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan DPR dalam merancang regulasi lanjutan.
Berikut enam skema keserentakan pemilu versi MK yang seharusnya menjadi pilihan terbuka:
- Pemilu serentak penuh: memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD dalam satu waktu.
- Pemilu serentak nasional dan lokal: memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota secara serentak.
- Pemilu super serentak: seluruh jabatan dari pusat hingga daerah dipilih serentak.
- Pemilu nasional terlebih dahulu, lalu pemilu lokal setelahnya, mencakup pemilihan kepala daerah dan DPRD.
- Pemilu berjenjang: pemilu nasional, lalu provinsi, kemudian kabupaten/kota dalam jeda waktu tertentu.
- Model lainnya selama tetap menjunjung prinsip keserentakan yang konstitusional.
Namun, dalam putusan terbarunya, MK secara sepihak menetapkan salah satu model, tanpa mengakomodasi proses politik dan legislasi di DPR.
Dilema Demokrasi: Pemilu Demokratis Tak Harus Langsung
Isu lainnya yang ikut disorot adalah tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap makna "demokratis" dalam Pasal 22E UUD 1945. MK menyatakan bahwa pemilu harus dilakukan secara langsung oleh rakyat. Padahal, menurut Rifqi, pemilu yang demokratis tidak harus selalu bermakna pemilihan langsung. Dalam sistem demokrasi dunia, ada berbagai model representasi yang sah dan tetap menjunjung asas kedaulatan rakyat.
"Jangan sampai tafsir MK malah mempersempit makna demokrasi. Demokrasi itu luas. Bukan hanya soal teknis pencoblosan langsung atau tidak. Ini soal substansi kedaulatan rakyat," jelasnya.
DPR Minta Waktu untuk Kajian Serius
Rifqi memastikan bahwa Komisi II DPR tidak akan tergesa-gesa dalam menindaklanjuti putusan MK. Ia menyebutkan telah bertemu dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad serta sejumlah pimpinan komisi untuk membahas langkah strategis berikutnya. Ia menegaskan bahwa setiap langkah yang diambil harus benar-benar berakar pada landasan konstitusional, bukan sekadar mengikuti arus putusan tanpa kritik.
"Kalau kita langsung laksanakan tanpa kajian mendalam, bisa jadi justru pelaksanaannya nanti malah melanggar konstitusi. Ini yang harus kita hindari," ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa di tubuh DPR sendiri terdapat banyak ahli hukum dan pakar tata negara yang tengah mengkaji putusan tersebut. Bagi Rifqi, tidak ada urgensi terburu-buru, apalagi pemilu baru akan digelar pada 2029.
"Jadi izinkan kami pelajari dulu secara mendalam. Ini bukan hanya demi kepentingan lembaga atau partai, tapi demi masa depan demokrasi dan tata hukum bangsa," tutupnya.
Debat Lama yang Kembali Terbuka
Debat tentang desain keserentakan pemilu bukan isu baru. Namun, dengan adanya putusan MK terbaru ini, perdebatan tersebut kembali terbuka dan semakin kompleks. Di satu sisi, MK ingin memastikan adanya kepastian hukum dan efisiensi pemilu. Di sisi lain, DPR merasa kewenangannya sebagai pembuat undang-undang tergerus.
Ke depan, publik akan menanti bagaimana DPR merespons tantangan ini. Apakah akan merevisi UU Pemilu dengan tetap menjaga prinsip checks and balances? Atau justru membiarkan Mahkamah Konstitusi melangkah lebih jauh dalam menetapkan norma tanpa legislasi?
Yang jelas, perdebatan ini menjadi ujian penting bagi arah demokrasi konstitusional Indonesia.
(Mond)
#PutusanMK #DPR #PemiluNasional #DPRD #Pilpres #Pilkada #MahkamahKonstitusi