Breaking News

Derita DR, Santri 14 Tahun di Malang Disiksa hingga Kakinya Membusuk karena Kelaparan di Malam Takbir

Tragedi memilukan terjadi di sebuah pondok pesantren di Desa Bilangan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seorang santri laki-laki berinisial DR (14) menjadi korban penganiayaan berat oleh pengasuh ponpes, hanya karena ke luar untuk mencari makan.

D'On, Malang
— Malam takbir Iduladha seharusnya menjadi malam penuh suka cita dan syukur. Namun, bagi DR, seorang santri laki-laki berusia 14 tahun di sebuah pondok pesantren di Desa Bilangan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, malam itu menjadi awal dari luka fisik dan trauma yang sulit terhapus seumur hidup.

DR, yang masih duduk di bangku SMP, menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh salah satu ustaz di pondok pesantren tempat ia menuntut ilmu agama. Ironisnya, semua bermula dari hal yang sangat manusiawi lapar.

Lapar dan Tak Ada Makan: Awal Derita

Peristiwa memilukan ini terjadi pada awal Juni 2025, bertepatan dengan malam takbir Iduladha. Kala itu, jatah makan untuk para santri di pondok dikabarkan telah habis. Dalam kondisi perut kosong dan tak tahan menahan lapar, DR memutuskan keluar sebentar dari area pesantren untuk mencari makanan.

"Anak ini hanya ingin mengisi perutnya yang kosong. Ia keluar untuk membeli makan, bukan untuk hal-hal negatif," ujar Miftah Rizky Amelia, kuasa hukum keluarga korban, dalam keterangannya, Sabtu (21/6/2025).

Namun, sesampainya kembali di lingkungan pondok, bukan pemahaman atau pengertian yang diterimanya. Justru, DR menjadi sasaran kemarahan ustaz yang diduga merasa tindakannya melanggar disiplin pondok.

Pukulan Rotan dan Luka yang Membusuk

Tanpa banyak tanya, DR dihukum secara brutal. Ia dipukuli dengan rotan, termasuk di bagian kedua kakinya. Pukulan itu tidak hanya meninggalkan memar, tetapi luka yang dalam dan menyakitkan. Dalam beberapa hari, luka tersebut tidak kunjung sembuh. Bahkan, infeksi mulai menjalar hingga daging di kakinya membusuk.

"Rasa sakitnya luar biasa. Anak ini bahkan tidak berani mengeluh. Dia hanya menahan di dalam kamar, sambil kakinya terus mengeluarkan bau busuk akibat infeksi," ungkap Miftah dengan nada prihatin.

Menurut penuturan Miftah, pihak pondok tidak memberikan perawatan medis yang layak. Tak tahan menahan sakit, DR akhirnya nekat kabur dari pondok pesantren, meski dalam kondisi kaki yang memburuk. Ia lari tanpa tujuan jelas—hanya ingin menyelamatkan diri.

Diselamatkan Warga, Diperjuangkan Kuasa Hukum

Beruntung, pelarian DR berakhir di tangan warga yang masih memiliki nurani. Seorang warga menemukan DR dalam kondisi lemah, pincang, dan bau luka yang menusuk. Mereka segera memberikan pertolongan dan melaporkan kejadian tersebut ke Polres Malang.

Pihak Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Malang langsung merespons laporan tersebut. Proses visum terhadap luka-luka DR telah dilakukan sebagai bagian dari penyelidikan hukum.

"Kondisinya sangat memprihatinkan. Ini bukan sekadar kekerasan, ini bentuk penyiksaan terhadap anak di bawah umur yang sangat serius," tegas Miftah.

Ia menambahkan, langkah hukum yang diambil mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, terlebih dari orang dewasa yang memiliki kuasa atas dirinya.

Pendidikan atau Kekerasan Terselubung?

Kasus DR membuka kembali luka lama soal praktik kekerasan yang masih terjadi di beberapa lembaga pendidikan berbasis agama di Indonesia. Pesantren, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendidik, justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan fisik dan psikis terhadap anak.

Polres Malang kini tengah mendalami kasus tersebut dan telah memanggil sejumlah pihak terkait, termasuk ustaz yang dilaporkan sebagai pelaku utama. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada penetapan tersangka secara resmi.

Sementara itu, publik bereaksi keras di media sosial. Tagar seperti #KeadilanUntukSantriDR dan #StopKekerasanPesantren mulai ramai digunakan, menandakan bahwa masyarakat tidak tinggal diam atas tindakan yang dinilai tidak manusiawi ini.

Penutup: Saatnya Evaluasi Serius Sistem Pendidikan Berbasis Pesantren

Tragedi yang menimpa DR bukanlah kasus tunggal. Ini adalah alarm keras bagi pemerintah, Kementerian Agama, dan seluruh pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan perlindungan santri di pondok pesantren.

"Anak-anak ini datang dengan harapan menjadi insan yang berilmu dan berakhlak. Jangan biarkan mereka pulang dalam keadaan trauma dan penuh luka," tutup Miftah dengan mata berkaca-kaca.

Kini, DR masih menjalani perawatan intensif untuk luka fisiknya—dan proses panjang untuk memulihkan luka batinnya yang jauh lebih dalam.

(Mond)

#Kekerasan #Kriminal #SantriDisiksa