Breaking News

PHK Menghantui Industri Media: Digitalisasi Menuntut Adaptasi Cepat dan Strategis

Ilustrasi PHK (Freepik)

D'On, Jakarta
Industri media di Indonesia tengah menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Arus digitalisasi yang melaju cepat telah mengguncang fondasi media konvensional seperti televisi dan media cetak. Di balik layar, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi bayang-bayang yang makin nyata, menyisakan kekhawatiran di kalangan jurnalis dan pelaku industri.

Andry Satrio Nugroho, Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), angkat bicara soal tantangan besar yang kini membelit dunia media. Ia menyoroti fakta bahwa transformasi digital yang masif telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi. Ketika berita bisa diakses dalam hitungan detik melalui ponsel pintar, media konvensional kian tersisih jika tak mampu beradaptasi.

“Suka atau tidak suka, saat ini masyarakat lebih banyak mengakses berita melalui ponsel dibandingkan menonton TV,” tegas Andry saat diwawancarai, Jumat (9/5/2025).

Transformasi ini, menurutnya, bukan sekadar perubahan platform, tetapi juga pergolakan ekosistem yang mengharuskan media berpikir ulang tentang format, konten, dan strategi bisnis. Televisi tidak lagi menjadi raja informasi, dan koran bukan lagi sumber utama berita pagi. Semua berpindah ke dunia digital yang cepat, ringkas, dan bersifat personal.

Namun, di balik urgensi untuk beralih ke digital, Andry mengingatkan bahwa media tak boleh kehilangan jati dirinya. “Transformasi digital harus dilakukan, tapi jangan mengorbankan kedalaman informasi,” ujarnya.

Ia menilai fenomena konten pendek dan sensasional yang mendominasi media sosial saat ini justru menjadi jebakan bagi media arus utama. Dalam upaya mengejar klik dan perhatian publik, banyak media tergoda menyederhanakan narasi hingga kehilangan substansi. Akibatnya, masyarakat pun makin terbiasa dengan informasi dangkal yang mudah dicerna, namun miskin konteks dan akurasi.

“Meskipun media konvensional harus masuk ke dalam platform online, diharapkan informasi yang ada di platform online tidak tereduksi sebegitu banyak,” kata Andry.

Kekhawatiran ini makin diperkuat oleh kondisi literasi masyarakat Indonesia yang disebutnya sedang berada dalam titik rawan. Rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan berpikir kritis membuat masyarakat rentan terhadap hoaks, disinformasi, dan konten bombastis yang menyesatkan.

Maka dari itu, menurut Andry, adaptasi digital tidak bisa hanya dilakukan oleh industri media semata. Diperlukan peran aktif negara untuk menopang transisi ini. Pemerintah, katanya, harus hadir secara konkret—bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendukung pertumbuhan media sehat dan berkualitas.

“Pemerintah harus meningkatkan kualitas SDM kita dalam hal literasi, dan dari sisi hilir, pemerintah juga harus memberikan insentif untuk meningkatkan kualitas konten jurnalistik,” tegasnya.

Langkah ini penting bukan hanya demi menyelamatkan industri media dari kehancuran, tetapi juga demi menjaga kualitas demokrasi. Di tengah derasnya arus informasi yang tak selalu dapat dipertanggungjawabkan, media profesional yang berintegritas menjadi benteng terakhir dalam menjaga nalar publik tetap sehat.

Jika tidak, PHK demi PHK bukan hanya akan menjadi berita rutin, tetapi juga menjadi tanda kehancuran ekosistem informasi yang seharusnya menjadi pilar bangsa.

(B1)

#PHK #IndustriMedia #Bisnis #Nasional