Pecalang dan Warga Bali Tolak Kehadiran Ormas GRIB Jaya yang Dianggap Berbau Premanisme
Pecalang atau polisi adat di Bali. (Antara Foto / Nyoman Budhiana)
D'On, Bali — Pulau Bali, yang selama ini dikenal sebagai surga pariwisata dunia dengan budaya dan tradisi yang kental, tengah bergolak dengan isu sosial yang mengusik ketenangan warganya. Penolakan keras datang dari berbagai elemen masyarakat Bali terhadap kehadiran organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Raya Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, yang baru-baru ini mendeklarasikan kepengurusan resminya di Pulau Dewata.
Ormas yang dipimpin oleh tokoh kontroversial Hercules Rosario Marshal yang selama ini dikenal memiliki latar belakang premanisme menuai respons negatif dari masyarakat adat Bali. Mereka khawatir, kehadiran GRIB Jaya justru akan mencederai nilai-nilai kearifan lokal dan menciptakan keresahan di tengah-tengah masyarakat yang selama ini hidup dalam harmoni.
Salah satu suara paling lantang datang dari Senator asal Bali, Ni Luh Djelantik. Lewat akun Instagram pribadinya, Ni Luh menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan kehadiran ormas luar, apalagi yang dinilai memiliki citra kekerasan dan intimidatif. Menurutnya, Bali sudah memiliki sistem keamanan adat yang kuat melalui lembaga pecalang penjaga keamanan tradisional yang secara historis telah terbukti menjaga ketertiban dan keseimbangan sosial di tengah masyarakat.
"Bali tidak butuh ormas luar. Kami punya pecalang yang bekerja bukan karena dibayar, tapi karena panggilan budaya dan tanggung jawab moral terhadap tanah leluhur," tegas Ni Luh dalam unggahannya.
Penolakan ini tidak hanya berhenti di media sosial. Di lapangan, gerakan penolakan turut dikobarkan oleh para pecalang sendiri. Salah satunya datang dari Wayan Darmaya, Ketua Pecalang Desa Adat Sulanyah, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Ia mengirim surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Gubernur Bali, I Wayan Koster, serta kepada Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Bali dan Manggala Agung Pasikian Pecalang Provinsi Bali.
Surat tersebut berisi kegelisahan masyarakat adat terhadap munculnya ormas dari luar daerah yang dinilai bertentangan dengan Pergub Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Pergub itu secara tegas mengatur tentang keberadaan dan kewenangan lembaga adat di Bali, termasuk struktur jaga baya dan pecalang yang berada di bawah Baga Pawongan sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan di lingkungan adat atau wewidangan.
“Bali sudah memiliki sistem pengamanan sendiri yang terintegrasi dalam struktur adat kami. Pecalang bukan sekadar penjaga, tapi simbol budaya dan spiritualitas masyarakat Bali,” tulis Wayan Darmaya dalam suratnya.
Lebih jauh, ia juga menyerukan agar pemerintah tidak hanya menolak ormas luar yang berpotensi merusak tatanan, tetapi juga memperkuat posisi dan kapasitas pecalang melalui dukungan anggaran yang layak.
Aksi penolakan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat Bali. Viral di media sosial, video dan unggahan yang memperlihatkan keresahan warga atas peresmian GRIB Jaya di Bali mendapat ribuan komentar dan dibagikan secara masif. Banyak yang mempertanyakan urgensi kehadiran ormas tersebut di tengah stabilitas sosial Bali yang selama ini terjaga dengan baik.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak GRIB Jaya mengenai penolakan tersebut. Namun, gelombang kritik dan penolakan yang terus meluas menunjukkan bahwa masyarakat Bali tidak tinggal diam jika harmoni dan keseimbangan sosial-budaya mereka merasa terancam.
Kisruh ini membuka kembali perbincangan tentang pentingnya menjaga Bali tetap menjadi wilayah yang berdaulat secara budaya, di mana aturan dan norma adat dihormati, bukan dilangkahi oleh kekuatan luar yang membawa potensi konflik.
(B1/KS)
#Pecalang #Bali #GRIBJaya