Lahan BMKG Jadi Pasar Malam dan Kontes Burung: GRIB Jaya Duduki Tanah Negara Selama 3 Tahun, Klaim Hanya Dampingi Ahli Waris
Proses pembongkaran bangunan di lahan BMKG di Tangsel, Sabtu (24/5). Foto: Dok. Istimewa
D'On, Tangerang Selatan – Di balik gemerlap lampu pasar malam, meriahnya suara kicau burung kontes, dan hiruk-pikuk pedagang makanan hingga hewan kurban, tersimpan sebuah kisah pelik soal perebutan lahan yang melibatkan organisasi masyarakat (ormas), lembaga negara, dan klaim ahli waris yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Lahan yang terletak di kawasan Pondok Betung, Tangerang Selatan secara sah tercatat sebagai milik negara yang dikuasai oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah diduduki oleh Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya selama kurang lebih dua hingga tiga tahun terakhir.
Sekretaris Utama BMKG, Gusmanto, mengungkapkan bahwa pendudukan ini bukan perkara baru. “Untuk kegiatan masifnya itu ada dua hingga tiga tahunan lah,” ujarnya kepada wartawan saat mengunjungi lokasi pada Sabtu (24/5). Selama masa pendudukan itu, lahan digunakan untuk berbagai kegiatan nonformal seperti pasar malam, kontes burung berkicau, dan penyewaan lapak pedagang makanan serta hewan kurban. Harga sewa lapak itu bervariasi, mulai dari Rp 3,5 juta hingga Rp 22 juta, tergantung ukuran dan lokasi.
Di lahan milik negara itu, aktivitas ekonomi berlangsung seolah tanpa hambatan hukum. “Kicau burung,” kata Gusmanto singkat, merujuk pada salah satu acara rutin yang digelar di lahan tersebut.
Polda Metro Jaya Imbau Taat Hukum
Dalam kesempatan yang sama, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, turut hadir di lokasi dan memberikan imbauan keras kepada masyarakat. Ia meminta agar semua pihak menghormati hukum dan tidak bertindak semaunya, terutama jika hal itu merugikan pihak lain.
“Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, itu mohon dapat memberikan laporan kepada instansi terkait, kepada kami, ke Polsek, Polres Jajaran, hingga Polda Metro Jaya atau langsung menghubungi 110,” katanya.
Status Hukum Lahan: Sudah Inkracht, Tidak Perlu Eksekusi
BMKG menegaskan bahwa lahan tersebut telah menjadi aset negara secara sah dan diakui hukum. Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Pondok Betung Tahun 2003 menjadi dasar kepemilikan, yang sebelumnya tercatat sebagai SHP No. 0005/Pondok Betung.
Tak hanya itu, status kepemilikan ini telah dikuatkan oleh putusan berkekuatan hukum tetap, termasuk dari Mahkamah Agung RI melalui Putusan No. 396 PK/Pdt/2000 tertanggal 8 Januari 2007. Bahkan, Ketua Pengadilan Negeri Tangerang secara resmi menyatakan bahwa putusan-putusan terkait lahan tersebut saling menguatkan, sehingga tidak diperlukan proses eksekusi lagi.
GRIB Jaya Bantah Kuasai Lahan: Hanya Dampingin Ahli Waris
Namun, GRIB Jaya membantah tudingan BMKG. Mereka menegaskan bahwa keberadaan mereka di lokasi bukanlah sebagai penguasa lahan, melainkan dalam kapasitas hukum.
“Kami menyampaikan klarifikasi tegas: GRIB Jaya tidak pernah menguasai lahan sebagaimana diberitakan. Kehadiran kami di lokasi semata-mata dalam kapasitas sebagai pendamping hukum dan advokasi atas permintaan resmi dari para ahli waris,” demikian pernyataan tertulis Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, Wilson Colling.
Wilson menjelaskan, GRIB Jaya baru terlibat dalam perkara ini sejak tahun 2024, setelah menerima permintaan resmi dari pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Menurutnya, tanah tersebut merupakan milik turun-temurun yang dibuktikan dengan kepemilikan girik, meskipun girik bukanlah dokumen kepemilikan tanah yang sah di mata hukum negara.
“Tanah ini awalnya tanah turun-temurun milik ahli waris yang dibuktikan dengan girik, sehamparan tanah itu milik ahli waris yang sudah tinggal di situ,” ujarnya. Namun hingga kini, tidak dijelaskan secara rinci siapa ahli waris yang dimaksud dan bagaimana sejarah lengkap kepemilikan tanah tersebut.
Benang Kusut Sengketa Tanah: Rakyat vs Negara atau Sebaliknya?
Kisah ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia, di mana tumpang tindih antara klaim sejarah, adat, dan hukum formal kerap menjadi ladang perdebatan panas. Di satu sisi, negara mengklaim memiliki legalitas kuat berdasarkan sertifikat dan putusan pengadilan. Di sisi lain, ada klaim "rakyat kecil" yang merasa tanah itu adalah warisan leluhur yang dirampas.
Sementara itu, aktivitas ekonomi terus berjalan di atas lahan yang disengketakan. Pasar malam tetap beroperasi, kontes burung tetap digelar, dan uang sewa lapak tetap mengalir. Pertanyaannya: ke mana perginya uang tersebut, dan apakah negara sebagai pemilik sah lahan pernah menerima bagian darinya?
Kisah ini belum usai. Namun satu hal yang pasti di tanah yang seharusnya menjadi milik publik untuk kepentingan umum, kini menjadi ajang tarik-menarik antara legalitas formal dan klaim tradisional, dengan masyarakat dan institusi hukum berada di tengah-tengahnya.
(Mond)
#GRIBJaya #Ormas #BMKG #Premanisme #SengketaLahan