"Kota Bengkuang" yang Tergusur: Sebuah Refleksi Budaya dari Padang
Kota Padang (Foto: Ist
Dirgantaraonline - Di tengah geliat pembangunan yang merambat dari pesisir hingga ke pusat kota, Padang tak lagi hanya dikenal dengan rendang dan Pantai Air Manis. Namun, ada satu julukan yang perlahan memudar, seolah ditelan riuhnya modernisasi: "Kota Bengkuang."
Julukan ini mungkin terdengar asing bagi generasi muda. Namun bagi mereka yang tumbuh di era 1970-an hingga 1990-an, sebutan itu bukan hanya slogan, melainkan napas kehidupan. Bengkuang umbi putih dengan rasa manis dan tekstur renyah itu dulu bukan hanya komoditas, tetapi identitas.
Dari Ladang Pesisir ke Pasar Tradisional
Bengkuang pernah menjadi primadona di tanah Padang. Daerah pesisir seperti Ulak Karang, Tabing, hingga Koto Tangah menjadi ladang subur bagi tanaman ini. Pasir pantai yang gembur menjadi tempat ideal bagi akar bengkuang berkembang. Tak butuh banyak modal atau lahan luas; masyarakat cukup memanfaatkan pekarangan rumah atau tanah kosong, dan hasilnya bisa cukup untuk menopang kehidupan keluarga.
Bengkuang dari Padang dikenal luas karena kualitasnya: besar, manis, dan segar. Tak hanya dijual di pasar-pasar lokal seperti Pasar Raya atau Pasar Alai, tetapi juga dikirim ke daerah lain. Dalam kehidupan masyarakat, bengkuang bukan hanya hasil tani, tapi juga bagian dari budaya konsumsi sehari-hari dijadikan rujak, camilan segar, bahkan bahan kosmetik tradisional.
Ketika Lahan Menyempit dan Generasi Beralih
Namun, seperti banyak kisah kejayaan agrikultur lainnya di Indonesia, cerita ini tidak bertahan lama. Seiring masuknya gelombang pembangunan pada awal 2000-an, lahan-lahan pertanian pesisir mulai tergusur. Pemukiman, perumahan elit, pusat perbelanjaan, dan proyek infrastruktur berdiri menggantikan ladang-ladang bengkuang yang dulu membentang luas.
Tak hanya ruang tanam yang menghilang minat generasi muda pun ikut terkikis. Menjadi petani dianggap tidak menjanjikan. Hasil bengkuang yang dulunya dihargai, kini kalah bersaing dengan komoditas lain yang lebih cepat panen atau lebih menguntungkan. Bahkan bengkuang dari daerah lain seperti Jawa atau Medan mulai membanjiri pasar lokal, menenggelamkan nama besar bengkuang Padang.
Dan begitulah, perlahan tapi pasti, julukan "Kota Bengkuang" menghilang dari benak masyarakat. Tak lagi disebut dalam seminar pertanian, tak lagi muncul dalam kampanye promosi kota, tak lagi dikenang dalam kurikulum sekolah.
Ingatan Kolektif yang Layak Dirawat
Namun sejarah tak boleh dibiarkan lenyap begitu saja. Meskipun bengkuang tak lagi menjadi tulang punggung ekonomi Padang, warisan budayanya masih layak dikenang. Dalam setiap umbi yang tumbuh di ladang kecil yang tersisa, dalam setiap rujak bengkuang yang dijual di pinggir jalan, terdapat jejak masa lalu—masa ketika Padang hidup dari tanah dan memberi makan dari hasil bumi.
Padang mungkin telah berubah, tapi perubahan bukan alasan untuk menghapus sejarahnya. Julukan "Kota Bengkuang" adalah bagian dari narasi kota ini. Ia adalah simbol dari kesederhanaan, kerja keras, dan kedekatan manusia dengan alam.
Mewartakan Ulang yang Terlupa
Mungkin, sudah saatnya kota ini mulai menoleh ke belakang, bukan untuk menolak masa depan, tetapi untuk memahami nilai-nilai yang pernah membentuknya. Mungkin perlu ada museum pertanian kecil, revitalisasi bengkuang sebagai produk unggulan, atau sekadar ruang cerita dalam buku pelajaran lokal. Karena sejarah bukan hanya milik mereka yang menang, tapi juga milik mereka yang pernah memberi arti.
Dan dalam kisah Padang, bengkuang pernah menjadi simbol yang manis—semanis kenangan yang kini layak untuk dikenang kembali.
Penulis: Osmond Abu Khalil
#Padang #Opini #KotaBengkuang