Breaking News

Gugurnya Pusat-Pusat Belanja di Indonesia: Kenapa Satu per Satu Ritel Asing Angkat Kaki?


D'On, Jakarta
Senyap namun nyata, dunia ritel Indonesia kembali kehilangan denyutnya. Pusat-pusat perbelanjaan yang dulu ramai kini perlahan surut, satu per satu gulung tikar. Setelah kepergian beberapa nama besar sebelumnya, kini giliran dua jaringan swalayan asing GS Supermarket dari Korea Selatan dan LuLu Hypermarket dari Timur Tengah yang mengakhiri petualangannya di Tanah Air.

GS Supermarket Tutup Seluruh Gerai, Pertanda Lain Krisis Ritel?

GS Supermarket, jaringan pasar swalayan asal Korea Selatan yang pernah ambisius memperluas sayapnya di Indonesia, kini memutuskan untuk menutup semua gerainya. Tidak tanggung-tanggung, seluruh cabang di Bekasi, Tangerang, Bogor, hingga Jakarta akan berhenti beroperasi paling lambat akhir Mei 2025.

Ketika media ini mengunjungi GS The Fresh Supermarket di Mampang, Jakarta Selatan, suasana sudah terasa berbeda. Rak-rak mulai tampak lebih lengang, dan wajah-wajah karyawan dipenuhi kecemasan. Mawar nama samaran salah satu pegawai membenarkan kabar yang beredar. "Iya, sudah mau tutup semua akhir bulan ini," katanya pelan.

Penutupan ini bukan karena kebangkrutan semata. Menurut Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, keputusan itu diambil karena seluruh operasional GS Supermarket akan diambil alih oleh perusahaan lain. “Sudah dibeli oleh supermarket lain, jadi bukan langsung bangkrut, tapi di-take over,” ujarnya.

Namun tetap saja, fakta bahwa GS hengkang dari pasar Indonesia memunculkan pertanyaan besar: mengapa semakin banyak peritel besar yang tak mampu bertahan?

LuLu Hypermarket Menyusul, Riwayat Besar yang Terhenti Senyap

Sebelum GS, pasar swalayan raksasa lainnya LuLu Hypermarket diam-diam juga bersiap menutup gerainya di Indonesia. Gerai pertama dan pusat operasional LuLu di Cakung, Jakarta Timur, menjadi saksi bisu proses pengosongan barang yang dikirim dari cabang-cabang lain seperti Bekasi dan Tangerang yang sudah lebih dulu akan ditutup.

“Saya dengar Bekasi dan Tangerang mau tutup duluan, jadi barang-barangnya dibawa ke sini,” kata salah satu karyawan LuLu Cakung yang enggan disebutkan namanya.

Ironisnya, gerai ini dulunya begitu dibanggakan. Pada 31 Mei 2016, Presiden Joko Widodo sendiri yang meresmikan LuLu Hypermarket Cakung. Bukan tanpa alasan LuLu dianggap berperan penting dalam memasarkan produk-produk lokal Indonesia ke pasar internasional.

"Saya sudah lihat sendiri outlet LuLu di Abu Dhabi. Mereka menjual produk-produk kita di sana," ujar Presiden Jokowi saat itu. Bahkan, pada 2014, LuLu telah mengekspor produk Indonesia senilai lebih dari 50 juta dolar AS ke Timur Tengah dan Asia.

Peresmian tersebut merupakan buah dari lawatan Jokowi ke UEA pada 2015, yang kemudian menghasilkan komitmen investasi LuLu Group sebesar 500 juta dolar AS di Indonesia, dengan janji menyerap 5.000 tenaga kerja lokal dalam tiga tahun.

Namun kini, hanya dalam kurang dari satu dekade, janji dan harapan itu meredup tanpa gema.

Kenapa Banyak Ritel Asing Rontok di Indonesia?

Fenomena tutupnya gerai-gerai ritel besar, terutama dari luar negeri, bukan kasus baru. Sejumlah faktor ikut mendorong gelombang penutupan ini, di antaranya:

  1. Persaingan Ketat dan Perubahan Perilaku Konsumen
    Meningkatnya dominasi e-commerce membuat banyak konsumen beralih ke belanja daring. Praktis, pusat perbelanjaan kehilangan daya tariknya, terutama untuk belanja kebutuhan sehari-hari.

  2. Biaya Operasional Tinggi
    Menjalankan supermarket fisik di kota besar seperti Jakarta, Bekasi, atau Tangerang memerlukan biaya sewa dan tenaga kerja yang tinggi. Saat jumlah pengunjung menurun, bisnis pun jadi tidak lagi efisien.

  3. Ketidaksesuaian Strategi Pasar
    Tidak semua pemain asing mampu memahami selera dan dinamika pasar lokal. Dalam beberapa kasus, mereka gagal bersaing dengan pemain ritel lokal yang lebih fleksibel dan adaptif.

  4. Dampak Ekonomi Pascapandemi dan Gejolak Global
    Pandemi COVID-19 mengubah peta konsumsi masyarakat. Belum lagi, gejolak harga bahan baku global serta nilai tukar rupiah yang tidak stabil menekan biaya impor produk.

Apa yang Bisa Dipetik dari Gugurnya Ritel-Ritel Besar Ini?

Mundurnya raksasa-raksasa asing ini bisa menjadi alarm keras bagi industri ritel Indonesia. Ketahanan bisnis tak hanya ditentukan oleh besar modal atau nama besar, tapi juga pemahaman mendalam akan karakter konsumen lokal, efisiensi operasional, dan kemampuan beradaptasi dengan teknologi.

Lebih jauh lagi, peristiwa ini seharusnya membuka peluang bagi pelaku usaha lokal untuk mengambil alih ruang yang ditinggalkan. Dengan strategi yang tepat dan keberpihakan pada produk-produk dalam negeri, mungkin justru ini awal baru bagi kebangkitan ritel Indonesia.

(*)

#Bisnis #Ekonomi #Ritel