Gelombang Kritik Menguat: Bareskrim Didesak Bebaskan Mahasiswi Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi Ciuman
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid
D'On, Jakarta – Penangkapan seorang mahasiswi berinisial SSS oleh Bareskrim Polri karena mengunggah meme satir yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tengah berciuman, telah memicu gelombang kritik dari berbagai pihak. Salah satu suara paling lantang datang dari Amnesty International Indonesia, yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk nyata kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam penangkapan itu sebagai bukti bahwa praktik otoritarianisme masih hidup dalam tubuh penegak hukum Indonesia. Menurutnya, polisi tak hanya bertindak berlebihan, tapi juga memanfaatkan alasan kesusilaan sebagai tameng untuk membungkam ekspresi yang tidak sejalan dengan penguasa.
“Ekspresi damai, seoffensif apapun, baik melalui karya seni, satire, atau meme politik, bukanlah tindak pidana,” tegas Usman dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (9/5/2025).
Menabrak Semangat Konstitusi
Menurut Usman, tindakan Polri jelas bertentangan dengan semangat konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini telah menegaskan bahwa "keributan" di media sosial tidak bisa serta-merta dikriminalisasi. Putusan MK itu seharusnya menjadi panduan bagi aparat penegak hukum, bukan diabaikan begitu saja.
"Respons represif terhadap ekspresi publik, apalagi yang terjadi di dunia maya, menunjukkan wajah otoriter yang tidak layak dipertahankan dalam sistem demokrasi,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang dijamin tidak hanya oleh UUD 1945, tetapi juga oleh berbagai instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Pembatasan terhadap hak ini, lanjutnya, memang bisa dilakukan, namun harus melalui mekanisme yang adil dan proporsional—bukan melalui pemidanaan.
“Standar internasional menolak penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk membungkam ekspresi, termasuk yang bernuansa kritik terhadap pejabat publik atau lembaga negara,” jelas Usman.
Negara Bukan Entitas yang Antikritik
Usman juga menyoroti bahwa institusi negara, termasuk Presiden, tidak dapat diposisikan sebagai entitas yang harus dilindungi reputasinya lewat hukum pidana. Kritik, bahkan yang disampaikan dalam bentuk satir sekalipun, merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
Menurutnya, penangkapan SSS hanya akan memperparah iklim ketakutan di masyarakat, mengikis kepercayaan terhadap institusi hukum, dan membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang.
“Ini bukan hanya soal satu meme, tapi soal bagaimana negara memperlakukan warganya yang menyuarakan pendapat secara damai. Ini soal siapa yang punya kuasa menentukan batas kritik dan sejauh mana negara boleh campur tangan atas ekspresi individu,” ujarnya.
Luka Psikologis di Balik Jeruji
Usman juga mengangkat aspek kemanusiaan dari penahanan SSS. Ia menyebut bahwa kriminalisasi seperti ini tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan luka psikologis mendalam bagi keluarga korban. Banyak dari mereka yang harus terpisah dari anak, adik, atau kakak mereka selama proses hukum berlangsung.
“Kriminalisasi dengan dalih UU ITE telah menjadi alat kekuasaan yang tak manusiawi. Ia bukan hanya merampas kebebasan, tetapi juga menghancurkan kehidupan,” katanya.
Desakan Pembebasan
Amnesty International Indonesia pun mendesak Bareskrim Polri untuk segera membebaskan SSS dan menghentikan segala bentuk penyidikan yang bermotif represi terhadap kebebasan berekspresi. Usman menilai langkah ini penting sebagai bentuk penghormatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.
“Jika negara tidak segera membebaskan SSS, maka jelas bahwa hukum di negeri ini sedang diarahkan untuk menjadi alat pembungkam, bukan pelindung warga negara,” tutup Usman.
(T)
#UUITE #BareskrimPolri #Hukum