Breaking News

Erick Thohir Tegaskan: Direksi BUMN Masih Bisa Dipenjara Jika Korupsi, Meski Tak Lagi Dianggap Penyelenggara Negara

Menteri BUMN Erick Thohir.

D'On, Jakarta
– Polemik soal melemahnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencuat kembali, menyusul diberlakukannya Undang-Undang BUMN yang baru pada Februari 2025. Di tengah kekhawatiran publik mengenai potensi kebal hukum bagi direksi dan komisaris BUMN, Menteri BUMN Erick Thohir memberikan penegasan tegas: siapa pun yang terbukti korupsi, tetap bisa dipenjara.

“Kalau terbukti melakukan korupsi, ya tetap dipenjara. Ini tidak ada kaitannya dengan status sebagai penyelenggara negara,” tegas Erick Thohir dalam konferensi pers di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (5/5/2025).

Pernyataan ini menjadi respons langsung terhadap kontroversi yang berkembang sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang secara eksplisit menyatakan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Pasal 3X ayat (1) dan Pasal 9G dalam UU tersebut menjadi sorotan, karena dinilai mempersempit ruang gerak KPK dalam menindak korupsi di sektor BUMN yang strategis dan mengelola triliunan rupiah aset negara.

Penegasan Erick: Tak Ada Tempat Aman untuk Koruptor

Meski status hukum berubah, Erick menekankan bahwa hal tersebut tidak serta-merta membuat pejabat BUMN berada di atas hukum. Menurutnya, langkah penindakan terhadap korupsi tetap dapat dilakukan melalui jalur pidana, baik oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, selama terdapat bukti kerugian negara atau tindak pidana yang kuat.

“Kita harus luruskan persepsi publik. UU BUMN tidak menghalangi penegakan hukum. Kalau korupsi, tetap bisa dijerat pidana. Tidak ada kekebalan,” ujar Erick.

Ia mengungkapkan bahwa Kementerian BUMN kini memperkuat sistem pengawasan internal secara signifikan. Salah satu langkah konkret adalah penambahan jumlah deputi pengawasan dari tiga menjadi lima, yang secara khusus akan menangani pencegahan dan investigasi kasus dugaan korupsi di lingkungan BUMN.

“Kami juga sedang menyusun definisi kerugian negara dan kerugian korporasi bersama KPK dan Kejaksaan Agung. Ini penting agar tidak ada ruang abu-abu dalam interpretasi hukum,” kata Erick.

UU BUMN 2025: Benteng atau Celah Korupsi?

Pengesahan UU BUMN 2025 menjadi babak baru dalam regulasi perusahaan pelat merah. Namun, alih-alih memperkuat akuntabilitas, UU ini justru menuai kritik dari banyak pihak, termasuk akademisi, pegiat antikorupsi, dan masyarakat sipil. Inti persoalannya: dengan dikeluarkannya pejabat BUMN dari kategori penyelenggara negara, KPK kehilangan sebagian besar dasar hukum untuk masuk langsung menangani kasus di BUMN.

Padahal, menurut Pasal 11 ayat (1) UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, atau kerugian negara minimal Rp1 miliar. Artinya, jika kasus korupsi di BUMN tidak memenuhi kriteria tersebut, KPK harus menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan atau Kepolisian dua institusi penegak hukum yang dalam beberapa kasus juga dinilai memiliki tantangan dalam hal independensi dan efektivitas.

Situasi ini memicu kekhawatiran publik. Banyak yang menilai bahwa BUMN, sebagai pengelola aset negara yang sangat besar dan memiliki peran strategis dalam ekonomi nasional, justru menjadi titik rawan korupsi jika tidak diawasi secara ketat.

Sinergi dan Transparansi Jadi Kunci

Dalam menghadapi situasi ini, Erick menegaskan bahwa Kementerian BUMN terus menjalin sinergi erat dengan KPK dan Kejaksaan Agung untuk memastikan tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh oknum nakal.

“Salah satu tugas utama kami sekarang bukan hanya membina, tapi juga mengawasi dan menyelidiki secara proaktif. Jangan sampai karena status penyelenggara negara diubah, ada yang merasa aman bermain-main dengan uang rakyat,” ujar Erick.

Langkah-langkah perbaikan yang ditempuh juga mencakup pembentukan sistem pelaporan internal (whistleblowing system), audit berkala, hingga integrasi sistem keuangan berbasis digital untuk meminimalkan potensi manipulasi data dan transaksi.

Tantangan di Depan Mata

Namun pengawasan internal saja tidak cukup. Banyak pihak mendesak agar pemerintah dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU KPK atau UU BUMN agar tidak menciptakan celah kekebalan hukum. Peran KPK sebagai lembaga independen yang memiliki wewenang besar dalam menyelidiki dan menuntut kasus korupsi dianggap vital, khususnya untuk sektor BUMN yang rawan intervensi politik dan tekanan bisnis.

"Kalau KPK hanya bisa masuk ketika kerugian negara lebih dari Rp1 miliar, bagaimana dengan kasus manipulasi yang nilainya ratusan juta tapi berdampak sistemik? Harusnya pencegahan dan penindakan tetap seimbang," kata salah satu pegiat antikorupsi dari ICW.

Pernyataan Erick Thohir memberikan kepastian bahwa hukum tetap berlaku bagi siapa saja, termasuk pejabat BUMN. Namun tantangan ke depan adalah memastikan agar sistem pengawasan dan penegakan hukum benar-benar berjalan efektif, transparan, dan bebas dari intervensi.

Di tengah keresahan masyarakat soal lemahnya peran KPK pasca-berlakunya UU BUMN 2025, publik berharap agar komitmen “zero tolerance” terhadap korupsi tak hanya berhenti di retorika. Karena di balik tembok megah BUMN, ada amanah besar yang tak boleh dikorbankan oleh kepentingan segelintir orang.

(Mond)

#Korupsi #BUMN #ErickThohir #UUBUMN