Breaking News

4 Kritikan Greenpeace untuk Pidato Jokowi yang Berbuah Laporan Polisi

D'On, Jakarta,- Greenpeace Indonesia dilaporkan ke polisi usai mengkritik pidato Presiden Joko Widodo perihal deforestasi di KTT COP26 Glasglow, Skotlandia. Kritikan Greenpeace dinilai tidak sesuai dengan fakta.


Greenpeace Indonesia menyayangkan isi pidato Presiden Joko Widodo dalam perhelatan COP26 di Glasgow, Senin (1/11/2021) waktu setempat, yang tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius yang merupakan inisiatif pemerintah sendiri. 

“Sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim,” ucap Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, dikutip dari situs resmi Greenpeace, Senin (15/11/2021).

1. Jokowi sebut deforestasi Indonesia turun, data Greenpeace menunjukkan sebaliknya

Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir. Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. 

Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.

Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. 

“Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini,” terang Leonard.

2. Jokowi klaim kebakaran hutan turun 82 persen di tahun 2020

Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina.

“Tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut,” jelas dia.

3. Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai di 2024

Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 ha (tahun 2015) yaitu 23 persen dari ekosistem mangrove dunia. Namun, data Greenpeace menyebut, lebih dari setengah dalam kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 Ha. Sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi. 

“Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai,” terangnya.

Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim. 

“Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir,” tuturnya.

Kebijakan utama ini, dinilai akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik. 

4. Presiden Jokowi menyebut Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019

Capaian ini, menurut Leonard, perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. 

Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).

“Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan,” terangnya.

Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map, menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatra (61,5 persen) dan Kalimantan (35,7 persen). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.

5. Pidato Greenpeace dilaporkan karena dituding hoaks

Laporan terhadap Greenpeace Indonesia ke Polda Metro Jaya diketahui dalam Surat Laporan pada Selasa, 9 November 2021. Pelapornya adalah Husin Shahab, Ketua Cyber Indonesia.

Husin menuding Leonard, Kiki Taufik dkk menyebarkan hoaks yang menimbulkan keonaran atau menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.

Adapun, pasal yang disangkakan kepada Greenpeace adalah pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia juga menggunakan pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


(IDN)