Tragedi Jam Gadang 1958: 187 Nyawa yang Terhenti di Tengah Dentang Waktu
Dirgantaraonline - Di pusat Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, berdiri sebuah menara jam setinggi 26 meter yang dikenal seantero nusantara: Jam Gadang. Ia adalah simbol kota, titik temu warga, latar foto wisatawan. Namun, di balik dentang jamnya yang kini hanya mengukur waktu, tersimpan sebuah bab gelap yang nyaris terlupakan Tragedi Jam Gadang 1958 saat 187 nyawa warga terenggut dalam hitungan menit.
Peristiwa ini terjadi di tengah konflik bersenjata antara pemerintah pusat dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan seperti banyak kisah kelam dalam sejarah negeri ini, ia bermula dari ketegangan politik yang berubah menjadi senjata terkokang.
Akar Ketegangan: Dari Tuntutan Otonomi ke PRRI
Menelusuri asal mula PRRI berarti menengok kembali politik Indonesia di pertengahan 1950-an, ketika hubungan pusat-daerah tegang dan pembangunan dirasa berat sebelah. Banyak tokoh di Sumatera Barat, Riau, dan sekitarnya kecewa pada kebijakan Presiden Sukarno yang dianggap terlalu memusat dan kurang memperhatikan daerah.
Menurut arsip Kompas dan Tirto.id, gejolak itu mengkristal pada November 1956, ketika 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi IX Banteng berkumpul di Padang. Dari sana lahir aspirasi untuk membentuk Dewan Banteng di bawah komando Letkol Ahmad Husein, dengan tuntutan otonomi lebih luas dan pemerataan pembangunan.
Ketegangan memuncak pada 20 Desember 1956, ketika Ahmad Husein merebut kekuasaan pemerintahan daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalam deklarasinya, ia mengklaim PRRI resmi berdiri sejak 15 Februari 1958, dengan tiga tuntutan utama:
- Pembubaran Kabinet Djuanda.
- Pembentukan pemerintahan sementara oleh Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX hingga pemilu berikutnya.
- Pengembalian Sukarno ke posisi konstitusionalnya.
Namun, di balik tuntutan politik itu, terselip pula agenda membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu berkembang pesat di pusat kekuasaan.
Jawaban Jakarta: Peluru dan Operasi Militer
Bagi Sukarno, PRRI adalah gerakan kontrarevolusioner. Bagi pemerintah pusat, negosiasi bukanlah pilihan; operasi militer besar-besaran menjadi jawabannya.
Beberapa operasi besar pun digelar:
- Operasi Tegas (Riau), dimulai 12 Maret 1958 di bawah Let. Kol. Kaharuddin Nasution.
- Operasi 17 Agustus, dipimpin Kol. Inf. Achmad Yani, diluncurkan tepat di hari kemerdekaan 17 Agustus 1958.
- Operasi Merdeka (Sulawesi), di bawah Letkol Rukmito Hendraningrat, yang memayungi empat operasi Sapta Marga di Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sangir-Talaud, dan Manado.
Strateginya jelas: penyisiran, pengepungan, penangkapan tak jarang disertai kekerasan terhadap warga yang hanya dicurigai sebagai simpatisan PRRI. Ribuan orang ditahan tanpa proses hukum jelas. Desa-desa di Sumatera Barat tak hanya merasakan dentuman senjata, tetapi juga intimidasi yang merasuk ke kehidupan sehari-hari.
Detik-Detik Menuju Tragedi
Pertengahan 1958. Bukittinggi, yang sebelumnya relatif aman, mulai dipenuhi tentara pemerintah. Dalam bayang-bayang Operasi 17 Agustus, satu per satu lelaki dari berbagai usia digelandang ke pusat kota konon dengan alasan interogasi cepat.
Namun, apa yang menunggu mereka jauh dari sekadar tanya jawab.
187 orang pria petani, pedagang, pelajar, bahkan mereka yang baru pulang dari pasar dihimpun di sekitar Jam Gadang. Hanya 17 orang di antaranya yang benar-benar anggota PRRI; sisanya adalah warga biasa yang tidak terlibat dalam pertempuran.
Laporan menyebut, tanpa pembuktian atau pengadilan, mereka ditembak mati di tempat. Dentuman senapan menggema di antara dinding gedung kolonial dan paving batu yang menyelimuti alun-alun kota. Tubuh-tubuh mereka kemudian dijejerkan di pelataran Jam Gadang, bukan untuk dimakamkan, melainkan untuk dilihat semua orang sebuah pesan teror yang jelas: melawan pemerintah berarti mati.
Teror yang Menyebar
Bagi warga Bukittinggi dan sekitarnya, hari itu menjadi garis batas antara “sebelum” dan “sesudah” tragedi. Anak-anak dipaksa melihat ayah atau kakak mereka tak lagi pulang. Pedagang kehilangan kawan berjualan. Petani kehilangan tangan yang biasa membantu di ladang.
Pemerintah pusat mengklaim tindakan itu sebagai bagian dari operasi penumpasan pemberontakan. Namun, bagi mereka yang menyaksikan langsung, itu adalah pembantaian warga sipil.
Tugu Pembebasan dan Ingatan yang Terbelah
Pascaoperasi, pemerintah membangun “Tugu Pembebasan” di beberapa titik Sumatera Barat, termasuk tepat di depan Jam Gadang. Monumen ini dimaksudkan sebagai simbol kembalinya daerah ke pangkuan NKRI.
Namun, tugu tersebut tak bertahan lama. Pada masa Gubernur Harun Zain (1967–1977), monumen di depan Jam Gadang dihancurkan. Alasan resminya jarang dibicarakan secara terbuka, tetapi banyak yang menilai penghancuran itu terkait dengan keinginan menghapus simbol-simbol yang berpotensi memicu kembali memori konflik.
Akhir Konflik dan Amnesti
Pada akhir 1959 hingga 1960, kekuatan PRRI kian melemah. Pasukan pemerintah berhasil menguasai seluruh Sumatera Barat. Sejumlah tokoh PRRI menyerah, dan pemerintah pusat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 pada 22 Juni 1961, yang berisi amnesti bagi semua pihak sipil maupun militer yang terlibat.
Di atas kertas, konflik telah berakhir. Di lapangan, luka sosial tetap menganga.
Mengapa Tragedi Ini Harus Diingat
Tragedi Jam Gadang bukan sekadar catatan pinggir sejarah. Ia menyimpan pelajaran penting:
- Perlindungan warga sipil harus menjadi prioritas, bahkan di masa konflik bersenjata.
- Narasi resmi dan memori rakyat sering kali berbeda dan keduanya layak diakui.
- Penghapusan simbol atau tugu tidak serta-merta menghapus luka sejarah.
Menulis ulang peristiwa ini berarti memberi ruang bagi mereka yang namanya tak tercatat di monumen atau buku sejarah. Mereka yang hanya disebut sebagai “orang biasa”, padahal hidupnya terputus di tengah dentang waktu Jam Gadang.
Jam yang Tetap Berdetak
Hari ini, wisatawan mungkin hanya melihat Jam Gadang sebagai ikon wisata. Mereka berfoto, membeli karupuak sanjai di pasar sekitar, atau menikmati es tebak di terik siang. Tetapi bagi sebagian warga, setiap kali jarum panjang dan jarum pendek bertemu di atas angka dua belas, ada gema lain yang mungkin tidak terdengar bahwa dahulunya ada gema tembakan, jeritan, dan hening panjang setelahnya.
Jam Gadang tetap berdetak. Waktu berjalan. Namun, tragedi itu tetap menandai sejarah tak hanya Bukittinggi, tetapi juga perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
(***)
Dari Berbagai Sumber
#Sejarah #APRI #PRRI #TragediJamGadang